Mohon tunggu...
Reni Indrastuti
Reni Indrastuti Mohon Tunggu... profesional -

writing is a passion

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Berburu Diskon, Beruntung atau Buntung?

4 Januari 2013   07:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:31 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Berburu barang diskon di mall tak ada buruknya selama kita bisa mengontrol emosi. Emosi seorang konsumen yang tak jauh dari sifat konsumerisme. Apalagi untuk kultur orang Indonesia. Konsumerisme masih terpelihara subur di berbagai kalangan. Mental konsumerisme pembeli inilah yang dimanfaatkan pedagang dan bagian managemen penjualan di supermarket ataupun mall untuk meraup keuntungan lebih besar.

Tulisan dengan huruf kapital untuk kata sale, diskon, dan sejenisnya sangat atraktif dan menjamur pada musim libur dan peringatan hari-hari besar. Kerumunan orang berbagai model, tua-muda, menor-simpel, lelaki-perempuan (meski saya akui statistik perempuan lebih banyak) mengerumuni box kuning area barang diskon. Semua berlomba mendapatkan barang kualitas terbaik dengan harga miring. Tak jarang saya memergoki wajah kecut pramuniaga yang sepertinya pegel memperbaiki tatanan barang yang berkali-kali diobrak-abrik calon pembeli. Hingga ketika saya tiba lagi di lain hari di tempat itu, box baju diskon sudah tak lagi tertata rapi tetapi awut-awutan. Tak lama nampak pemandangan para calon pembeli mengaduk-aduk isi box tersebut. Saya dapat maklumi betapa lelahnya si Mbak pramuniaga jika berulang kali menyusun tatanan baju.

Satu hal yang menarik hati dari fenomena barang diskon ini adalah, melihatnya dari perspektif pelayan toko yang juga manusia yang tak luput dari budaya konsumerisme. Satu pengalaman saya tentang ini, tatkala nimbrung di area baju diskon di suatu mall di kota Gudeg, tak sengaja mendengar percakapan dua pelayan toko yang akhirnya saya ikuti alias menguping dengan hati-hati. Salah satu di antara mereka rupanya tertarik dengan barang diskon dan meminta kawannya menyimpan untuk dibayarnya seusai shif kerja. Barang tersebut yang saya lihat memang nampak elegan, merk-nya pun terkenal, dan aih, harganya murah. Pantas saja dia antusias untuk mengamankannya. Dari kisah ini saya menyimpulkan bahwa sale yang digelar saat itu merupakan penjualan barang berkualitas yang haganya benar-benar disunat. Jeleknya, item-item pilihan sudah tentu diincar oleh orang-orang yang tahu lebih dulu seperti pramuniaga tadi. Dari sisi legowo, kalau memang rejeki dan jodoh dengan barang-barang tersebut pasti nemu juga yang cocok mutu dan harganya meski tahunya info diskon ini belakangan. Jadi tak perlu bela-belain berdesakan mengaduk barang diskon.

Fenomena lain yang saya temui, even diskonan sepertinya merupakan pancingan supaya calon pembeli tertarik dengan barang lainnya yang dipajang berdekatan dengan barang diskon. Hal ini saya alami sendiri. Pada suatu waktu tanpa kesungguhan niat melihat-lihat barang dari merk terkenal yang saat itu sedang di-diskon di suatu mall kota Medan. Saya pikir tak apalah membelanjakan sedikit uang untuk barang yang saya inginkan meski tak terlalu saya butuhkan. Barang itu, yakni sepasang sepatu, saya niatkan sebagai alternatif warna untuk dikenakan di acara tertentu. Toh harganya sepertinya tak terlalu mengurangi anggaran secara signifikan. Tetapi belum saya belum beruntung, ukuran yang cocok di kaki tak saya temukan. Tetapi dengan energy yang masih penuh untuk menjalani acara shopping hari itu, hati saya tertambat pada sepatu yang dipajang berdekatan dengan barang diskon. Saya amati, modelnya pas banget dengan selera saya. Mengenakannya di depan kaca serasa kaki ini terlihat lebih cantik dari aslinya. Saya pikir, sepatu ini “gue banget”. Warna dan ukurannya pun tersedia untuk ukuran kaki saya. Karena merasa sepatu tersebut berada dekat dengan area diskon, saya putuskan untuk membelinya. Memang nominal harga yang tertera terbilang mahal. Tetapi hati saya masih tenteram melihat angka persen diskon yang terpasang di dekatnya, 70%, setelah saya kalkulasi dalam batin, harga final masih terjangkau oleh saya. Jadilah saya berada dalam antrian pembeli di depan kasir yang mengular panjangnya.

Setibanya saya di depan kasir, petugasnya berujar sopan, “Item yang ini tanpa diskon ya, Kak”. Senyum manisnya sembari mengatakan informasi itu membuat saya keselek. Alamak! Tapi ternyata ambisi saya menutupi rasa malu lebih besar dibanding pemikiran rasional yang semestinya saya ambil saat itu. Apa daya saya terjebak dalam keadaan psikologis yang abu-abu, antara berpikir jernih untuk membatalkan transaksi atau menutupi emosi yang meronakan wajah. Akhirnya saya mengedepankan gengsi dan mengerdilkan akal sehat. Saya berpikir pasti tak ada ruginya membeli sepatu itu. Pasti ada manfaatnya.

Terlepas dari manfaat yang saya dapatkan nanti, di telinga ini terngiang kutipan-kutipan clue yang sering diujarkan teman atau handai tolan yang saya sadari ada benarnya. “Teliti sebelum membeli”, atau “Ada rupa ada harga” yang merupakan terjemahan bahasa Jawa “Ana rupa ana rega”. Akhirnya anggaran belanja saya bulan itu berkurang secara signifikan untuk membayar gengsi dan batal menemukan keberuntungan dari even diskon. Learnt and noted.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun