Nyaris enam tahun saya mengenal Kompasiana. Kenangan saat pertama kali membuat akun kompasiana, saat itu juga saya mempublikasikan tulisan saya yang sebenarnya saya maksudkan untuk menginventarisasi hasil “ceramah” saya di suatu forum arisan ibu-ibu perkebunan di Sumatera Utara supaya tidak sekedar menghuni folder komputer yang rentan terlupakan dan menjadi rongsokan yang tak berarti. Planning saya saat itu segala aktivitas saya yang bermanfaat bagi orang lain ingin saya rekam dan simpan dalam laci maya saya. Sebelumnya, saya sudah mulai getol menulis di ruang catatan Facebook. Masukan dan komentar teman lumayan banyak saya terima tentang isi tulisan yang saya ceritakan di sana, ada yang memang concern dengan isi tulisan, ada juga yang sekedar say hello dari teman FB saya. Tentang kedalaman gaya penulisan dan gagasan tak terlalu digubris mereka. Sejak itu saya rajin menginventaris ilmu-ilmu saya yang saya bagikan ke orang lain dalam bentuk artikel atau sekedar tulisan pendek, baik hasil rekaman dari forum ibu-ibu ataupun ruang formil acara kedinasan. Maksud hati supaya menjadi suatu album kenangan bahwa saya pernah berbuat dan menyimpan gagasan-gagasan lama yang mempresentasikan profil saya dalam berpikir. Saya kira, di masa yang akan datang hal ini akan bermanfaat.
Saya mulai mencari jati diri dalam ranah kepenulisan. Apakah sekedar menuangkan apapun, baik itu penting atau tidak, baik itu berguna bagi orang lain atau sekedar curcol diri-sendiri. Saya mulai mencari bentuk kepenulisan saya. Saya lihat catatan-catatan FB yang diposting teman-teman FB. Saya intip tentang apa yang mereka tulis, sesekali saya komentari untuk tulisan-tulisan yang menyentuh hati saya. Pertamanya, saya telaten mengerjakan ini di sela-sela pekerjaan kedinasan yang tidak terlalu menyita waktu. Lambat laun, ketika konsentrasi saya harus berfokus pada tanggung jawab pekerjaan yang rumit, saya tak setelaten yang sebelumnya. Sampai akhirnya saya “nemu” Kompasiana di awal tahun 2010. Di blog keroyokan ini saya tak perlu berekstra ria mengangsurkan waktu dan tenaga untuk mencari-cari tulisan orang lain. Dan bagusnya lagi, tak hanya tulisan teman-teman yang saya kenal yang bisa saya baca. Hebatnya pula, saya malah bisa menambah pertemanan dengan orang-orang yang memiliki minat yang sama, yaitu menulis. Sebenanya saya juga punya blog pribadi untuk menyalurkan gagasan, tetapi gereget untuk menulis lebih termediasikan di kompasiana, pasalnya feedback terhadap tulisan yang saya publish, memicu saya untuk mempertahankan kualitas tulisan atau bahkan meningkatkannya. Feedback tersebut bisa bersifat direct dan indirect.
Bersifat direct atau langsung jikalau saya mendapat masukan langsung dari penulis lain pada komentar-komentar yang mereka berikan pada setiap tulisan saya. Memang tak saya pungkiri, komentar tersebut selalu membuncahkan perasaan bangga, tak sedikit yang juga berisi kritik bahkan berondongan komentar berkepanjangan yang isinya merundung saya. Tak apa, segala sesuatu itu justru membuat saya melek untuk terus belajar. Dan the lessons I learned dari pembulian itu membuat saya mengerti tentang warna-warni motif kompasianer ketika bergabung di Kompasiana. Ini pengayaan tersendiri bagi saya untuk mengasah kontrol diri terhadap respon orang lain. Dalam hal ini, Kompasiana mengajarkan saya untuk bijak. Feedback indirect atau tak langsung yang saya amati, adalah ketika saya mendapati tulisan saya berada di posisi mana. Tentu saja saya mengerti di ranah mana tulisan tersebut saya publish, di bidang apa, apakah bidang kesehatan, humaniora, lifestyle, fiksi dan lain sebagainya seperti yang ditawarkan kompasiana, pada top bar-nya. Maksud saya, kadang kompasiana memberi kejutan-kejutan yang membuat perasaan saya seperti bermain di rollcoaster, naik-turun, melambung-menukik. Kejutan yang pernah saya terima adalah ketika tulisan pertama saya pada Januari 2010, yang isinya memberi informasi “all about milk” meraih rating terpopuler (parameter kompasiana saat itu) dengan ribuan pembaca. Ini adalah feedback indirect yang saya maksudkan tadi, tak hanya tentang perasaan saya yang diberi surprise tentang posisi tulisan, tetapi juga label tulisan di atas judul yang baru saya ketahui belakangan ini, bahwa ada pendiferensiasian entitas terhadap tulisan-tulisan kompasianer, apakah merupakan highlight atau malah headline. Saya tak terlalu ambil pusing tentang perbedaannya.
Kebertahanan saya menulis di kompasiana bukan sekedar karena mendapatkan feedback, tetapi karena keinginan saya dari lubuk hati yang terdalam untuk “mengasuransikan” ingatan saya di hari tua nanti. Banyak orang dengan lifeskill yang unggul, full knowledge dan berkompetensi di bidangnya, tetapi jika dia tak pernah menulis, dia sedang membawa diri ke arah kehampaan. Tak selamanya manusia selalu sehat. Aging factor tak akan bisa ditolak dan dihindari, meski duit berlebih untuk melakukan oplas (baca operasi plastik) dan permak penampilan, tetapi sel-sel neuron di otak akan mengalami degenerasi seiring bertambahnya usia manusia. Yang membedakan individu satu dengan yang lain adalah kecepatan penuaan, ada yang malah penuaan dini, atau beruntung mempunyai ingatan yang tajam hingga hari tua. Tetapi daripada main tebak-menebak atau memprediksi vitalitas otak, lebih baik melakukan tindakan yang mendukung perlambatan penuaan. Salah satunya dengan menulis. Bagi saya menulis itu suatu vitamin neurotropik, yaitu suplemen untuk mempertahankan atau meningkatkan aktivitas sel saraf. Meski penuaan tak dapat dihindari, tetapi dengan menulis, saya menolak pikun. Lebih lagi, menulis di kompasiana tak sekedar hanya menyimpan gagasan dan membukanya lagi kapan-kapan, tetapi saya rasakan sebagai pembelajaran terus-menerus. Pada saat yang berbeda, ketika membaca lagi tulisan lama, akan muncul kembali gagasan untuk melahirkan tulisan baru yang lebih “mlethik” (Jawa-red). Semakin banyak menulis, semakin sering menemukan ide-ide baru yang membuat tubuh kita berada pada kondisi fit karena hormon yang bertanggung jawab sebagai antistress, yakni si endorfin dan serotonin sedang memuncak. Aktivitas menulis saya ibaratkan sebagai aktivitas klonal (pinjam istilah biosel-histologi), yaitu berlipat ganda dan progresif, ketika satu karya tercipta, karya-karya lain akan bermunculan. Yang penting tidak memelihara si malas dalam ruang jiwa kita.
Saya boleh dibilang cukup lama bergabung di kompasiana, verifikasi di samping foto profil saya adalah biru, tetapi kualitas menulis bisa saja kalah telak dengan kompasianer hijau, apabila saya tak lagi berlatih atau membiasakan diri untuk menulis. Referensi-referensi sebagai rujukan tulisan semakin menjadi perhatian untuk melahirkan tulisan yang baik, dan coverage of all sides. Kompasiana bagi saya adalah media untuk continuing writing learning, istilah yang saya ciptakan untuk label kompasiana, atau biar kedengaran keren, sebut saja “Triple Ing”. Hehehe...boleh lah yaa...berbasa-basi menciptakan entitas atau terminologi, namanya juga dunia menulis itu mendekatkan kita dengan dunia istilah dan pilihan kata.
Yah, saya harap eksistensi kompasiana tak akan pudar, meski rupa dan bentuk bisa saja berbeda sesuai dengan bertambahnya usia kompasiana, tetapi akan selalu ada memediasi orang-orang yang sadar tentang menulis, membagikan gagasan yang bermanfaat bagi diri-sendiri, karena mengasah ingatan dan mengolahragakan sel otak, syukur-syukur juga bermanfaat bagi orang lain. Karena Kompasiana, saya punya laci maya sebagai wadah inventarisasi ilmu, gagasan dan lakon kehidupan, yang menjadi investasi kesehatan saraf di hari tua nanti.