Berat total otak sekitar rata-rata 1,300 Kg (laki-laki sekitar 1,400 Kg; perempuan sekitar 1,250 Kg) mengandung sekitar 10 miliar sel saraf yang tertata dalam suatu sistem yang disebut Susunan Saraf Pusat (SSP). Sistem SSP ini sangat kompleks, mungkin merupakan sistem yang paling kompleks yang pernah dikenal di jagad raya ini.
Kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran dan kesehatan (Iptekdokkes) belakangan ini memang pesat menakjubkan. Penelitian neuroscience (ilmu saraf) dengan menggunakan instrument yang canggih, seperti EEG (Electro Encephalogram), MRI (Magnetic Resonance Imaging), MRS (Magnetic Resonance Spectroscopy), fMRI (functional Magnetic Resonance Imaging), PET (Positron Emission Tomography), SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography) dan sebagainya, maupun penelitian neurohormonal, mencoba menguak misteri apa dan bagaimana mekanisme pusat-pusat saraf yang ada di otak itu berfungsi. Sudah banyak pengetahuan baru yang didapat, tetapi gambaran yang dihasilkan masih seperti bayangan benda dibalik layar, apakah betul ada bendanya di balik sana, masih belum tuntas, sehingga penafsiran hasilnya masih banyak bersifat hipotetik sementara.
Penulis ESQ mengutip beberapa hasil penelitian neurologist (dokter ahli saraf), antara lain dari V.S. Ramachandran. Penelitian Ramachandran yang menemukan “God spot” adalah penelitian terhadap aktivitas elektris pada salah satu bagian otak yang disebut lobus temporalis yang dikatakannya penting dalam pengalaman religius. Pola aktivitas elektris otak sangat berbeda-beda tergantung terutama pada pengalaman yang dimiliki seseorang. Sebagai contoh, orang yang sedang menjelang mati dapat menghasilkan pola aktivitas elektris berbeda dengan orang yang sedang meditasi. Para ilmuan kini percaya bahwa sejumlah struktur dalam otak memerlukan kerja sama untuk membantu kita mengalami spiritualitas dan religion. Ramachandran juga menyatakan bahwa berbagai studi telah jelas menunjukkan suatu hubungan antara pengalaman religius dengan epilepsy lobus temporalis. Pengalaman religius dan spiritual sangatlah kompleks, katanya pula, melibatkan emosi, pikiran, sensasi dan perilaku. Tapi para ilmuan percaya bahwa pasien penderita epilepsy lobus temporalis yang menderita halusinasi religius dapat dijadikan sebagai sebuah model penting dalam menunjukkan bagaimana pengalaman religius tertentu mempengaruhi otak manusia.
Epilepsi lobus temporalis adalah suatu kondisi pasien yang menderita penyakit ayan (seizure) karena adanya aktivitas elektris yang abnormal pada bagian otak yang disebut lobus temporalis itu. Serangan bisa simple tanpa kehilangan kesadaran, bisa pula kompleks disertai kehilangan kesadaran. Serangan kompleks karena serangan itu menyebar pada lobus kiri dan kanan otak, menyebabkan kehilangan memori. Penderita epilepssi lobus temporalis, menurut Ramachandran, sekitar 10-70% menderita halusinasi religius, tapi sebagian besar neurologist (ahli saraf) percaya bahwa hanya sebagian kecil pasien penderita epilepsi lobus temporalis yang mengalami halusinasi seperti itu.
Ramachandran menceritakan pula percobaan Dr. Persinger dengan menggunakan helmet yang dapat membangkitkan lapangan magnetic berputar yang sangat lemah, diletakkan di atas kepala subjek percobaan, menimbulkan efek pengalaman religius. Pengalaman religius ini berupa suatu “sensasi kehadiran” (a ‘sensed presence’) – perasaan seakan-akan ada seseorang hadir didalam kamar percobaan bersama mereka. Bila subjek religiusnya kuat mungkin menginterpretasikan kehadiran tersebut sebagai Tuhan. Sementara itu, orang atheis bisa juga melaporkan suatu ‘sensasi kehadiran’ tapi menghubungkannya dengan suatu tipuan kimia otak, mungkin seperti pengalaman mereka ketika menyalahgunakan obat diwaktu lampau.
Beberapa dekade lalu ada ilmuan Barat yang menulis bahwa Nabi Muhammad Saw menderita epilepsi. Karena dalam riwayat diceritakan keadaan Nabi Muhammad Saw bila sedang menerima wahyu, ada yang seperti mimpi saat tidur, ada yang tiba-tiba terdiam beberapa saat, dan ada yang gemetaran dan berkeringat seperti ketakutan. Kondisi-kondisi ini dinterpretasikannya sebagai suatu serangan epilepsi. Tulisan itu kemudian dibantah oleh ilmuan Barat lainnya, salah satu argumentasinya adalah : serangan epilepsi yang berulang-ulang dan tidak terkontrol akan menyebabkan penurunan fungsi berpikir, sedangkan Nabi Muhammad Saw makin sering menerima wahyu, makin meningkat kemampuannya.
Satu kelemahan lagi, Ramachandran tidak mempunyai rekaman aktivitas elektris otak para Nabi dan Rasul terdahulu saat menerima wahyu untuk dibandingkan dengan rekaman otak para penderita epilepsi lobus temporalis yang mengalami halusinasi religius. Bagi orang yang imannya baik, tidak ada prasangka negatif pada diri para Nabi dan Rasul. Mereka adalah manusia pilihan Allah, haqqul yakin.
Dalam Neuropsikiatri (Ilmu Kedokteran Saraf dan jiwa) makna istilah halusinasi adalah suatu pengalaman persepsi pancaindera tanpa adanya rangsang yang nyata dari luar tubuh. Timbulnya halusinasi bisa disebabkan oleh faktor organik (adanya rangsangan nyata atau gangguan pada otak) bisa juga oleh faktor non-organik (faktor fungsional, yaitu tanpa rangsangan nyata atau gangguan pada otak). Adanya pengalaman religius berupa suatu sensasi kehadiran, interpretasinya sangat sujektif, yaitu dipengaruhi oleh pengalaman emosional sebelumnya. Interpretasi antara orang beriman dan atheis bisa berbeda. Jadi ‘sensasi kehadiran’ yang dihasilkan oleh percobaan Dr.Persinger tersebut termasuk halusinasi gabungan organik dan fungsional.
Adanya halusinasi ‘sensasi kehadiran seseorang’ tersebut bila diinterpretasikan sebagai kehadiran Tuhan, ini namanya proses berpikir konkritisasi, wujud Allah dikonkritkan menjadi sama dengan mahluk ciptaanNya. Ini sangat naïf. Mewujudkan wajah para Nabi pun kita dilarang. Na’udhzubillaah min dzalik ! A’udhzubillaahi minas syaithaanirrajim !
Dengan demikian, bila ‘God spot’ nya Ramachandran diasumsikan oleh Penulis ESQ sebagai tempat fitrah manusia, sumber suara hati, sebagai representasi eksistensi Allah dalam diri manusia, sebagai bukti bahwa Allah berada lebih dekat dari urat nadi kita, rasanya perlu dikaji ulang. Apalagi, model yang digunakan untuk memahaminya berupa fenomena halusinasi religius pada penderita ayan (epilepsi lobus temporalis) serta ‘sensasi kehadiran”!
Jika Allah menyatakan dalam firmanNya bahwa Dia berada lebih dekat dari urat nadi kita, itu lebih bermakna simbolis karena Allah juga berada dimana-mana. Rasanya cukuplah diyakini, tak usah diteliti. Sama halnya bila kita ingin mengetahui dimana Allah meletakkan roh yang ditiupkanNya dalam tubuh manusia, apakah dalam tiap sel tubuh ? Bila sperma yang terpancar keluar dari ‘gudangnya’ diperiksa dibawah mikroskop, ternyata masih dalam keadaan hidup, apakah tiap sperma masing-masing punya roh ? Orang yang sudah mati, tetapi sel-sel ginjal atau kornea matanya masih hidup sehingga dapat ditransplantasikan kepada orang lain yang masih hidup yang membutuhkannya, apakah ginjal dan mata itu mempunyai roh sendiri terpisah dari pemiliknya yang sudah mati ? Dan apakah si penerima sumbangan organ itu berarti juga mendapat tambahan roh ? Semua itu tidak akan mampu kita temukan jawabannya. Tak usah dibahas, bisa membuat kita senewen, karena itu Allah menyatakan dalam firmanNya : “Roh itu termasuk urusan Tuhan” (QS 17:85).