Mohon tunggu...
Decky Ferdiansyah
Decky Ferdiansyah Mohon Tunggu... -

Seorang suami dan ayah dari 4 orang anak, sedang belajar menulis..

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Halaman Kedua adalah Ruhul Jadid

1 Juni 2013   06:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:42 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih tentang menulis dan memposting tulisan.. Ini aktivitas yang sudah lama saya idam-idamkan untuk digeluti, namun baru terlaksana kemarin (jumat 31 mei 2013). Dalam ukuran saya, sudah sangat tertinggal. Padahal menulis itu kesejarahan. Karena perkataan bisa dengan mudah dilupakan orang lain, tapi bila perkataan itu dituliskan, maka ia akan menjadi sejarah. Kita mungkin masih ingat dengan dai sejuta ummat Alm. KH Zainuddin MZ. Begitu banyaknya ceramah beliau direkam, tapi tidak sebanding dengan banyaknya tulisan-tulisan beliau. Karena jujur saja, saya belum pernah baca tulisan-tulisan beliau. Emang ada?? Padahal pemikiran beliau luar biasa, mampu menyampaikan islam dengan bahasa yang dapat dipahami berbagai kalangan. Tidak hanya itu, ceramahnya juga amat menarik karena beliau mampu mengemas dengan sangat baik. Bahkan beliau berani untuk memberikan kritik-kritik pada penguasa saat ini, rezim Orde Baru. Namun sayang, ceramah-ceramah itu lambat laun akan dilupakan umatnya, karena tidak ditulis. Ingatan kita tidak mampu untuk merekamnya untuk periode yang lama. Sekalipun salah satu putra beliau memiliki karakter yang amat mirip dengan beliau ketika berceramah, tapi tetap saja sosok beliau belum tergantikan. Mungkin karena padatnya jadwal berceramah semasa hidupnya, kesempatan beliau untuk menulis sangat sedikit. Sebagai perbandingan, diawal abad 19 ada seorang dai di Mesir bernama Hasan Al Banna. Beliau rajin sekali menulis, seperti rajinnya beliau berceramah. Saya masih merasakan dan memahami pemikiran-pemikirannya sekalipun belum pernah mendengar ceramahnya. Dari mana saya merasakan dan memahami? Ya dari tulisan-tulisan beliau, yang oleh beberapa ulama dikumpulkan menjadi kitab Majmu'atul Rasail. Taukah Anda? Itu bukan kitab kuning atau kitab fiqh seperti karya ulama-ulama terdahulu. Itu "hanya" kumpulan risalah-risalah dakwahnya. Tapi dengan menjadi tulisan, pemikirannya menjadi tersejarahkan. Ternyata tulisan lebih dahsyat nilainya daripada kata. Jadi, dari kisah dua tokoh itu saya tambah yakin untuk berkesimpulan : menulis itu kesejarahan.. Kendatipun demikian, ada saja yang tidak setuju. Ada teman yang bilang, "khan udah ada youtube bro, tinggal ente cuap-cuap sambil direkam, upload ke youtube, jadilah ia mendunia dan tersimpan abadi. Ngapain repot-repot nulis..?? Cape deh bro, hahaha" Saya bilang "ya udah, kalau saya ada seribu argumen untuk menulis, maka ente pasti ada seribu satu argumen untuk menolak menulis..." Tapi begitulah ya, bagi sebagian besar orang, menulis bukan pekerjaan yang mudah. Menulis dianggap sebagai aktivitas cerdas yang memerlukan pengorbanan yang besar, yaitu memeras otak. Dan hantu yang paling menakutkan dalam menulis katanya sih adalah diksi (pilihan kata). Seolah-olah sebuah tulisan adalah kumpulan diksi yang sempurna. Ada kekhawatiran yang luar biasa kalau-kalau salah memilih dan menempatkan kata. Khan harus subyek - predikat - obyek. Belum lagi korelasi antar kalimat, belum lagi menjadi paragraf yang harus satu kesatuan dengan paragraf lain. Jadi, "teori njelimet" sudah menjadi penghalang pertama dan utama. Padahal enggak juga tuh. Saya yakin untuk menulis sms/bbm, mungkin tidak butuh waktu lama dan teori njlimet. Ide tulisan dalam sms/bbm lancar mengalir seperti aliran sungai yang lagi banjir :) Bahkan ide yang dituliskan dalam sms/bbm sangat menyatu dengan jari-jemari yang begitu lincahnya mengetik, malahan ditambah senyam-senyum. Iya khan..?? Ngaku aja deh *pengalamanpribadi*. Kalau saja aktifitas menulis dan mempostingnya ke Kompasiana (contohnya) dirasakan seperti menulis sms/bbm, saya yakin semua bisa menulis. Lalu apa penghalangnya doong? Mungkin itu yang oleh para pakar manajemen disebut sebagai mental block. Mental block ini padahal muncul dari dalam diri sendiri. Kalaupun ada bisikan-bisikan dari luar, tetap saja "saham" terbesarnya adalah dari dalam diri sendiri. Maka rumus sederhana untuk meruntuhkan mental block adalah lawanlah dari dalam diri sendiri. Lawan terus sampai ia runtuh. Karena hal itulah yang membuat kita malas memulai untuk menulis. Lawan dengan menulis apa adanya walaupun itu hanya satu kalimat. Karena ketika kita sudah memulai dari satu kalimat, maka energi untuk membuat kalimat-kalimat berikutnya akan lebih mudah. Dan ini saya buktikan sendiri. Ketika selesai membuat satu tulisan, otak saya tergelitik untuk membuat tulisan-tulisan lain, apapun temanya. Semangat untuk menulis semakin besar, terus menerus tumbuh dan berkembang. Saat ini fokus saya adalah kuantitas dalam menulis, belum sampai pada tahap kualitasnya. Mudah-mudahan suatu saat saya bisa memadukan keduanya. Maka kalau prestasi pribadi saya ditulisan INI BUKAN HALAMAN PERTAMA adalah meruntuhkan tembok kemalasan menulis (mental block), maka prestasi berikutnya pada "halaman kedua" ini adalah menumbuhkan semangat baru, bahasa arabnya RUHUL JADID.. End

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun