Tiga minggu sebelum pemilihan presiden RI 2014, liputan media dan perhatian masyarakat kelihatannya semakin meningkat. Blogs, posting status, tweets di sosial media semakin marak dan sering mengundang diskusi panas di antara pendukung kedua kubu calon presiden. Saya dengar cerita ada orang yang sampai memutuskan “persahabatan” dengan teman facebooknya karena tidak satu kubu, atau anggota keluarga yang menghindari berbicara sampai pemilu selesai karena setiap kali topik pemilu ini keluar, emosinya menjadi tidak terbendung. Dalam sejarah demokrasi Indonesia yang masih muda (terutama pemilihan presiden secara langsung yang tahun ini baru ketigakalinya), belum pernah terlihat tingkat perhatian dan emosi, bahkan kemarahan calon pemilih, yang setinggi ini. Walaupun debat capres/cawapres menarik untuk diikuti, bagi saya reaksi dan komentar pendukung dari kedua kubu pasca debat jauh lebih menarik karena lebih mencerminkan level kematangan demokrasi kita.
Situasi pemilu ini mengingatkan saya pada sebuah film klasik (tahun 1957) Hollywood yang berjudul “12 Angry Men.” Film yang sangat bagus ini bercerita tentang proses deliberation (musyawarah/diskusi) 12 anggota juri suatu persidangan untuk mengambil keputusan atas sebuah kasus kriminal. Proses ini dilakukan setelah selama enam hari mereka mendengarkan cerita para saksi di persidangan dan pembelaan tertuduh dan pengacaranya. Yang menjadi tertuduh adalah seorang anak muda yang tidak berpendidikan dan berasal dari daerah slum. Dia dituduh membunuh ayahnya, dan bukti-bukti yang disodorkan oleh jaksa adalah sebuah pisau lipat yang ditemukan di dada ayahnya dan kesaksian dua orang tetangganya.
Menurut system pengadilah di Amerika Serikat, untuk kasus pembunuhan dengan ancaman hukuman mati seperti itu, keduabelas juri harus sepakat dengan keputusannya. Kalau ada satu orang saja yang berbeda pendapat dan tidak akan mau merubah pikirannya, sidang tersebut akan berakhir dengan status “hung jury”, jalan buntu, yang berakibat kasus tersebut harus disidangkan lagi dari awal dengan tim juri yang berbeda.
Karena keduabelas anggota juri tersebut dipilih secara random dan tidak seorangpun memiliki kepentingan pribadi apabila tertuduh dinyatakan bersalah atau tidak bersalah, keputusan mereka semata-mata dilandasi oleh keinginan untuk mencari keadilan bagi tertuduh. Secara moral taruhannya sangat berat, yaitu hidup-matinya seorang pemuda berusia 18 tahun.
Pada voting pertama dalam proses deliberation tersebut, hanya seorang anggota juri (juri No.8 yang diperankan oleh Henry Fonda) yang memilih “not guilty”, tidak bersalah. Yang lain merasa yakin bahwa tertuduh bersalah berdasarkan cerita para saksi dan lemahnya pembelaan tertuduh dan pengacaranya. Juri No. 8 diminta menjelaskan mengapa dia yakin tertuduh tidak bersalah. Dan dari sinilah cerita film tersebut berkembang menjadi sangat menarik, tentang bagaimana sekelompok orang yang tidak saling kenal berusaha mencari kebenaran dan mecapai kata sepakat.
Juri No.8 melihat alangkah tidak adilnya bagi anak tersebut kalau anggota juri mengambil keputusan yang tergesa-gesa. Dia meminta agar masing-masing mengkaji lagi cerita para saksi secara lebih teliti dengan memberikan perhatian khusus pada hal-hal yang dapat menimbulkan keraguan (istilah hukumnya “reasonable doubt”) bahwa memang tertuduh melakukan tindakan kriminal tersebut. Perlahan-lahan penonton diperkenalkan dengan karakter dan latar belakang masing-masing anggota juri dan juga motif mengapa kedua saksi memberikan cerita yang menyudutkan si tertuduh. Melalui proses diskusi yang terkadang panas dan hampir menjadi konflik fisik, para juri dengan cermat membedah dan membedah lagi cerita para saksi. Hasilnya, tingkat keraguan mereka semakin tinggi terhadap”kebenaran” yang sebelumnya sangat mereka yakini. Beberapa anggota juri juga dibuat sadar bahwa voting awal mereka ternyata hanya berdasarkan personal prejudice (prasangka pribadi) terhadap orang-orang seperti si tertuduh, atau didasari oleh perasaan dendam dan pengalaman pahit diri sendiri. Setelah menyadari kehadiran prasangka pada diri masing-masing, para anggota juri lalu bisa melihat betapa banyaknya “fakta” atau cerita-cerita saksi yang ternyata sangat meragukan atau hanya merupakan kebohongan. Akhirnya, setelah berjam-jam melakukan proses deliberation, keputusan juri berubah dari 11 vote “guilty” menjadi 12 vote “not guilty.”
Saya melihat kesamaan antara situasi pra-pemilu 2014 dengan “12 Angry Men.” 190 juta calon pemilih adalah tim juri yang sedang dikuasai emosi yang tinggi. Yang diadili adalah para capres/cawapres. Taruhannya adalah pembangunan sosial dan ekonomi Indonesia selama lima tahun ke depan. Para saksi adalah tim sukses dari kedua kubu yang gencar menyebarkan berbagai cerita tentang kubu sendiri dan lawannya. Kalau ada kebohongan di cerita mereka, motivasinya adalah harapan untuk mengambil keuntungan pribadi atau kelompok apabila calon dari kubunya menang. Satu hal yang berbeda dari film tersebut adalah dalam pemilu ini beberapa saksi juga menjadi anggota tim juri. Dalam proses pengambilan keputusan mereka secara aktif berusaha mempengaruhi keputusan anggota juri lain agar berubah pendapat dan memenangkan kandidat mereka.
Tetapi saya yakin lebih dari 99% calon pemilih adalah orang-orang yang ingin mencari kebenaran sehingga mereka bisa mengambil keputusan terbaik bagi kepentingan bangsa ini. Di tengah-tengah cerita yang kontradiktif dan berbagai propaganda hitam (smear campaign) dari para pendukung kedua kubu, bagaimana kita bisa mendapatkan “kebenaran” itu? Seperti jury No.8 bilang, “Saya tidak tahu apa kebenaran (“the truth”) itu sebenarnya. Tidak ada seorangpun yang tahu. Tapi saya tahu bahwa prasangka akan selalu mengaburkan kebenaran.” Prasangka menjadi sepasang kacamata berwarna yang kita pakai dan mempengaruhi segala sesuatu yang kita lihat.
Pendukung masing-masing kubu pasti memiliki prasangka pribadi terhadap kandidat kubu lawannya; prasangka ini bisa terbentuk oleh pengalaman pribadi, dari apa yang dia baca dan dengar, berdasarkan persepsi tentang sekelompok orang, dan lain-lain. Akibatnya, sangat sulit, bahkan mustahil, bagi kita untuk bisa mendapatkan pengertian yang utuh mengenai kebenaran tersebut. Yang kita bisa lakukan adalah berusaha mendekati kebenaran tersebut secara obyektif sehingga kita bisa mengambil keputusan berdasarkan apa yang kita yakini sebagain "kebenaran". Langkah pertama menuju obyektivitas ini adalah dengan melepaskan kacamata prasangka tersebut.
Bisakah kita membuat keputusan tanpa prasangka? Terinspirasi oleh film tersebut, saya rasa ini sangat bisa. Caranya? Pertama, di atas kertas kosong (di smartphone juga boleh) tuliskan alasan-alasan mengapa kita memilih salah satu kandidat. Kalau alasannya adalah karena dijanjikan posisi oleh tim kandidat tersebut, prosesnya cukup distop di sini, karena anda tidak lebih dari seorang saksi yang bermotif kepentingan tertentu, sehingga kebenaran tidak relevan bagi anda. Tetapi kalau alasannya adalah karena anda percaya bahwa kandidat tersebut akan membawa kebaikan untuk bangsa ini, lanjutkan dengan menuliskan alasan-alasan mengapa anda TIDAK memilih calon dari kubu lawan. Tuliskan sebanyak mungkin alasannya bagi masing-masing kandidat, termasuk gosip-gosip yang anda baca hari ini di facebook atau tabloid.
Setelah tidak ada lagi alasan yang terlupakan, dengan teliti baca dan pelajari lagi alasan tersebut satu per satu. Pikirkan dengan kepala dingin dan evaluasi kebenarannya secara obyektif. Kalau merasa tidak yakin, cari informasi pendukung. Tujuan akhirnya adalah untuk mengkategorikan alasan-alasan tersebut sebagai prasangka, kebenaran, atau meragukan. Beri score bagi setiap alasan berdasarkan ketiga kategori tersebut. Skala penilaian terserah anda, yang penting konsisten. Setelah selesai, nilai untuk masing-masing kandidat ditotal. Voila! Akan keluar score yang mungkin akan membuat anda kaget sendiri, entah karena perbedaan antara kedua kandidat itu ternyata lebih tipis dari yang anda duga sebelumnya, atau malah akan membuat anda berubah pikiran dan akhirnya memilih kandidat kubu lawan.
Kandidat mana yang anda pilih itu tidak penting. Yang paling penting adalah bagaimana anda bisa mengatakan dengan penuh keyakinan, “Saya pilih kandidat ini karena....” dan bukan karena terpengaruh teman, keluarga, atasan di kantor, pemimpin masyarakat, atau pemimpin agama. Kalau kita memilih tanpa keyakinan, selama lima tahun ke depan hati nurani kita akan merasa terganggu kalau ternyata kandidat yang kita pilih itu tidak seperti yang kita harapkan dan malah membawa keburukan bagi bangsa ini.
Selamat melakukan deliberation!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H