Oleh Immawati Dyah Prabaningrum
Dalam semantik (ilmu yang mempelajari tentang makna) hubungan “kakak-adik” adalah antonimi relasional. Ya! Berlawanan namun tetap berhubungan. Dalam sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak; kakak-adik tercakup di dalam satu kata “anak.” Seiring dengan perkembangan bahasa, kata “kakak-adik” mengalami perluasan makna, tak lagi bersifat relasi dengan pertautan darah yang kental akan tetapi relasi dalam ikatan emosional pun memungkin seseorang memiliki naluri sebagai kakak maupun sebagai adik bagi satu orang dengan yang lainnya. Antonimi relasional! Kata itu mengingatkan kita pada suatu kewajaran bila dalam kelanjutannya banyak cerita yang menunjukkan pertengkaran antara kakak dan adik. Dalam keluarga, jelas hubungan relasional kakak dan adik yang terbentuk, namun bagaimana dalam ikatan kekeluargaan yang tak ada hubungan genetik, misalnya organisasi? Kakak biasanya adalah analogi dari seseorang yang mengikuti sebuah organisasi lebih awal dari yang diadikkan. Kakak dalam sebuah organisasi biasanya memainkan peran yang penting dalam pembentukan karakter, kemantapan, dan keyakinan sang adik atas visi dan misi yang di usung dalam organisasi. Sedangkan si adik biasanya menaruh minat yang besar untuk belajar dan mengikuti si kakak. Akan tetapi pada kenyataannya beberapa adik tidak sepenuhnya “menurut” si kakak dikarenakan beberapa hal: antara keyakinan yang ingin disematkan si kakak dengan keyakinan yang tertanam dalam diri si adik berbeda, rasionalitas yang kurang mewadahi dalam pembentukan karakter yang diinginkan organisasi, dan lain-lain. Si kakak dan si adik selanjutnya saya sebut kader. Di IMM sendiri, dalam penyelarasan visi-misi beserta tri kompetensi dasar yang akan diemban kader, kader dinaungi kebebasan dalam menafsirkan pada setiap segmen diskusi. Dalam diskusi-diskusi tersebutlah akan terlihat bagaimana gejolak pemikiran, emosi, dan penangkalan atas ketidaksetujuan dari wacana yang dilempar. Kadang si adik meski dengan keterbatasan kemampuan pemikiran tetap ngotot pada apa yang dianggap benar. Sebuah pemikiran pun akan berimbas pada aplikasi perbuatan, akibatnya kadang apa yang diperbuatnyamelenceng dari apa yang diharapkan organisasi. Sebagai kakak akan lebih bijak bila tidak terburu menilai negatif, mungkin beberapa referensi akan membantu dalam berlatih kesabaran bersama.
Kisah R. Ng. Ranggawarsita, pujangga yang meramalkan”zaman edan” dimana karya sastranya melampai zamannya. Dulu ia seorang yang nakal, hingga masa kecilnya ia harus dipondhokkan di Kyai Kasan Besari. Di sana ia suka menjahili santri-santri yang lain hingga harus dipulangkan. Sunan Kali Jaga, ia dulu juga seorang perampok sebelum bertemu Sunan Bonang yang pada akhirnya menjadi Sunan yang cerdas yang mampu membuat agama Islam diminati penduduk pribumi. Di daerah Kudus juga ada Syeh Jangkung yang mengisi “padasan” untuk wudhu dengan kranjang yang dipakai untuk mengisi bak mandi karena tidak kebagian “timba.” Dan dibelahan bumi lain juga ada Tomas Alfa Edison yang konon katanya nakal, tapi siapa yang tak tahu dia sekarang? Penemu bolam lampu untuk yang pertama kalinya.
Hmm..setiap hal memang mengandung antonimi sendiri-sendiri. Mungkin ada kebaikan dikesalahan laku. Akan tetapi, terkadang bukankah kesalahan yang mempertegas kebenaran? Atau kesalahan hanya ekspresi kemampuan daya nalar saja? Barsabar! Mungkin itu kata yang tepat untuk menanti jawab. Billahi fi sabililhaq fastabiqul khairat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H