Berdasarkan penjelasan diatas penulis berpendapat, bahwa teknologi kecerdasan buatan  lebih baik diperlakukan sebagai objek hukum bukan subjek hukum. Hal ini karena, Teknologi kecerdasan buatan (AI) diciptakan oleh manusia  dan dikembangkan oleh manusia untuk memudahkan pekerjaan manusia, dari sini dapat dipahami bahwa AI adalah sesuatu yang berguna bagi subjek hukum. Namun, jika AI diperlakukan sebagai subjek hukum karena dikatakan bertindak secara mandiri, hal ini menimbulkan pertanyaan dari penulis yaitu, bagaimana AI datang ke pengadilan, apakah diwakili ?, bagaimana tanggung jawab moral terhadap AI ?, dan Apakah kecerdasaan buatan bisa diberi sanksi seperti manusia dan korporasi ?. Jika pertanyaan ini terjawab menurut penulis kecerdasan buatan dapat dikatakan sebagai subjek hukum.
Sekarang ini kecerdasan buatan masih dianggap sebagai bentuk alat atau produk manusia, dan pertanggungjawabannya hukumnya dikenakan oleh siapa atau digunakan oleh siapa. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, perkembangan teknologi Artificial Intelligence tidak bisa diremehkan begitu saja. Negara-Negara Uni eropa telah membuat draf undang-undang yang mengatur tentang teknologi AI yang isinya tentang pengenalan wajah, data biometrik, dan aplikasi. Hal ini dilakukan karena AI harus melayani manusia untuk membantu pekerjaannya bukan untuk sebaliknya.Â
Oleh karena itu, jika Indonesia menerapkan teknologi AI sebagai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap kemajuan negara. Maka negara harus segera membuat  Undang-Undang yang mengatur tentang kecerdasan Buatan, dan meningkatkan kemampuan teknologi terhadap masyarakatnya. Hukum terhadap teknologi kecerdasan buatan masih menjadi perdebatan hingga sekarang ini, karena isu hukum tentang kecerdasan buatan masih menjadi kontroversial. Akan tetapi, teknologi AI ini masih sangat dinamis dan terus berkembang seiring perkembangan teknologi dan munculnya isu-isu baru.