Umumnya, hukuman (sanksi) adalah dianggap sebagai “rasa sakit, penderitaan, atau kerugian” yang ditimbulkan pada orang lain karena pelanggaran yang telah dibuatnya.Penjatuhan sanksi menjadi pilar penting dalam menjaga ketertiban dan keadilan. Ketika seseorang melanggar hukum, mereka akan menghadapi konsekuensi yang sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan.
Sanksi restitusi mengacu pada kewajiban seseorang untuk mengembalikan sesuatu yang telah diambil atau dirugikan. Dalam konteks hukum pidana, sanksi restitusi biasanya diterapkan sebagai salah satu bentuk hukuman yang diberikan kepada pelaku tindak pidana untuk memperbaiki kerugian yang disebabkan oleh tindakan mereka. Misalnya, seorang pelaku tindak pidana perdagangan orang dapat dijatuhi sanksi restitusi untuk mengembalikan hak-hak korban yang dirugikan secara materiil dan immateriil.
Jumlah ganti rugi harus bergantung pada kerugian bagi korban dan manfaat bagi pelaku kesalahan. Artinya, ketika menentukan jumlah ganti rugi, harus dipertimbangkan berbagai faktor seperti kerugian finansial yang diderita korban, termasuk kerugian langsung dan tidak langsung seperti kerugian fisik, kerugian properti, biaya pengobatan, atau kehilangan pendapatan. Selain itu, kerugian immateriil seperti penderitaan emosional, trauma, atau kehilangan kualitas hidup juga harus dipertimbangkan.
Tanggungjawab sosial terhadap korban dengan memberikan restitusi merupakan bentuk dari sistem pertanggungjawaban pidana. Dengan memberikan restitusi, pelaku kejahatan bertanggung jawab secara sosial atas tindakannya dan membantu mengembalikan kondisi korban ke semula sejauh mungkin. Oleh karena itu, memberikan restitusi kepada korban adalah salah satu cara untuk menegakkan keadilan dalam sistem hukum pidana, karena menempatkan tanggung jawab pada pelaku kejahatan untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan serta memberikan korban kesempatan untuk memulihkan diri dari dampak tindakan kriminal yang dialaminya.
Menurut Peraturan Mahkamah Agung nomor 1 Tahun 2022 Tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Dan Pemberian Restitusi Dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana Korban berhak memperaloh Restitusi berupa:
- Ganti kerugian atas kehilangan kekayaan dan/ atau penghasilan;
- Ganti kerugian, baik materiil maupun imateriil, yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana;
- Penggantian biaya perawatan medis dan/ atau psikolagis; dan/atau
- Kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat tindak pidana, termasuk biaya transportasi dasar, biaya pengacara, atau biaya lain yang berhubungan dengan proses hukum.
Menurut Pasal 5, terdapat beberapa persyaratan administratif yang harus diperhatikan dalam mengajukan permohonan restitusi. Permohonan tersebut harus disampaikan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Ketua/Kepala Pengadilan melalui berbagai pihak seperti LPSK, penyidik, atau penuntut umum. Pengadilan yang berwenang memeriksa permohonan restitusi adalah Pengadilan yang memeriksa perkara tindak pidana yang melibatkan pelaku, seperti Pengadilan Negeri, Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pengadilan Militer, dan Pengadilan Militer Tinggi. Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2018 juga telah menjelaskan syarat- syarat penting dalam mengajukan permohonan restitusi yang harus dilengkapi oleh pihak korban seperti yang tertuang pada pasal 21 yaitu sebagai berikut :
- Identitas pemohon
- Uraian tentang tindak pidana
- Identitas pelaku tindak pidana
- Uraian kerugian yang nyata-nyata diderita; dan
- Bentuk Restitusi yang diminta
Pemenuhan restitusi kepada korban tindak pidana masih dihadapkan dengan sejumlah tantangan yang perlu diatasi. Salah satu tantangan tersebut adalah kurangnya pemahaman mengenai restitusi oleh penyidik, penuntut umum, dan hakim. Selain itu, korban seringkali hanya diposisikan sebagai objek pembuktian dalam proses hukum dan tidak mendapatkan perhatian yang memadai terkait pemenuhan hak-hak mereka. Meskipun Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban telah mengatur mengenai restitusi bagi korban tindak pidana, implementasinya masih terbatas. Dalam praktiknya, penegak hukum terkadang enggan untuk mengakomodasi restitusi dalam proses penyidikan dan penuntutan.
Secara normatif, sejauh yang diketahui hanya Undang-Undang tindak pidana perdagangan orang yang mengatur ancaman hukuman kurungan sebagai subsider bagi terdakwa yang tidak membayar restitusi. Pada Undang-Undang Tindak Pidana perdagangan orang, ancaman hukuman kurungan maksimal adalah 1 tahun. Namun, dalam prakteknya, putusan hakim cenderung memberikan kurungan subsider di bawah 6 bulan. Hal ini seolah menjadi dorongan bagi pelaku untuk tidak membayar restitusi. Berdasarkan data restitusi dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban tahun 2021, hanya sebesar Rp279.533.330,- atau sekitar 7,5% dari total restitusi sebesar Rp3.718.591.408,- yang dibayarkan oleh pelaku, sedangkan sisanya memilih untuk tidak membayar.
Jika terpidana tidak bisa melaksanakan kewajibannya untuk membayar restitusi yang telah ditetapkan hakim dalam putusan yang berkekuatan hukum tetap, Maka aset/harta terpidana akan disita dan dilelang oleh jaksa penuntut untuk membayar kerugian kepada korban, jika harta/aset tidak memenuhi jumlah restitusi yang dibayar maka terpidana akan menerima hukuman pidana kurungan maksimal 1 tahun.
Akan tetapi, ketiadaan ketentuan yang memaksa pelaku tindak pidana untuk membayar ganti rugi kepada korban dalam sistem peradilan pidana menyebabkan tingkat keberhasilan restitusi menjadi rendah. Oleh karena itu, diperlukan solusi yang memungkinkan pelaku tindak pidana menghadapi konsekuensi hukuman jika mereka tidak memenuhi kewajiban membayar restitusi, sehingga beban restitusi tidak hanya ditanggung oleh negara. Jika seorang narapidana tidak membayar restitusi kepada korban, ada konsekuensi yang mungkin bisa terjadi seperti, pencabutan remisi dan penundaan pembebasan bersyarat, jika restitusi telah dibayar oleh terpidana secara penuh maka terpidana dapat menerima hak untuk mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat.