Mohon tunggu...
Hadi Eko Suwono
Hadi Eko Suwono Mohon Tunggu... lainnya -

Rakyat Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pohon Natal dan Pernikahan*

26 Desember 2010   18:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:22 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Tempo hari aku melihat suatu pernikahan… Tapi tidak! Aku lebih baik bercerita tentang sebuah pohon Natal. Pernikahan tersebut baik. Aku sungguh menyukainya. Tapi kejadian lain masih lebih baik. Aku tidak tahu mengapa melihat pernikahan itu mengingatkanku pada pohon Natal. Beginilah kejadian itu:

Tepatnya lima tahun lalu, pada Perayaan Tahun Baru, aku diundang ke pesta dansa anak-anak oleh seorang pengusaha kelas atas, yang memiliki koneksi-koneksi, lingkaran kenalan-kenalan, dan intrik-intrik. Maka pesta dansa anak-anak itu seolah-olah tampak sebagai dalih belaka bagi para orangtua untuk berkumpul dan mendiskusikan hal-hal menarik bagi diri mereka sendiri, tanpa rasa bersalah dan begitu saja.

Aku orang luar, dan karena aku tidak punya sumbangan hal menarik, aku bisa menghabiskan malam itu terpisah dari yang lain. Di sana hadir pria lain seperti diriku yang pula tersandung urusan kebahagiaan rumahtangga ini. Dia lebih dulu menarik perhatianku. Penampilannya tidak menunjukkan dia seorang pria bangsawan. Dia tinggi, agak kurus, sangat serius, dan berpakaian bagus. Tampaknya dia tidak suka pesta-pesta keluarga. Seketika itu dia pergi ke pojok sendirian, senyuman menghilang dari wajahnya, dan dahi tebalnya yang gelap mengerut. Dia kenal tak seorang pun kecuali tuanrumah; dan dia menunjukkan setiap tanda kebosanan, tapi berani berpura-pura senang hingga akhir pesta. Kemudian aku mengetahui bahwa dia seorang udik, datang ke ibukota karena suatu urusan penting dan membingungkan, membawa sepucuk surat rekomendasi pada tuanrumah, dan tuanrumah kami menempatkannya di bawah perlindungannya, sama sekali tidak con amore. Karena kesopanan belaka tuanrumah mengundangnya ke pesta dansa anak-anak ini.

Mereka tidak bermain kartu dengannya, mereka tidak menawarinya rokok. Tak seorang pun bercakap-cakap dengannya. Mungkin mereka mengenali burung dari bulu-bulunya dari kejauhan. Oleh karena itu, pria ini, tidak tahu apa yang harus dilakukan, terpaksa menghabiskan malam mengelus-elus cambangnya dengan tangannya. Cambangnya sangat bagus, tapi dia mengelus-elus mereka begitu tekun sehingga orang merasa bahwa cambang itu tiba ke dunia lebih dulu dan setelah itu baru pria ini untuk mengelu-elus mereka.

Ada tamu lain yang menarik perhatianku. Tapi tingkahlakunya sangat berbeda. Dia adalah tokoh terkemuka. Mereka memanggilnya Julian Mastakovich. Pada pandangan pertama orang bisa bilang dia adalah tamu terhormat dan berposisi dalam hubungan yang sama dengan tuanrumah sebagaimana tuanrumah dengan pria bercambang itu. Tuanrumah dan nyonyarumah tiada henti beramah-tamah padanya, bertindak paling sopan, menjamunya, menungguinya dekat-dekat, membawa tetamu untuk diperkenalkan padanya, tapi tak pernah membawanya pada orang lain. Aku memperhatikan airmata berkilauan di mata tuanrumah kami ketika Julian Mastakovich menyatakan bahwa dia jarang melewatkan malam yang menyenangkan seperti ini. Entah bagaimana aku mulai merasa tak nyaman pada kehadiran tokoh terkemuka ini. Maka, setelah bercanda dengan anak-anak, lima dari mereka, anak-anak yang gemuk, adalah anak-anak tuanrumah, aku pergi menuju ruang tamu, seluruhnya kosong, dan duduk sendirian di ujung konservatori yang memakan hampir separuh ruangan.

Anak-anak itu menyenangkan. Mereka sungguh-sungguh menolak untuk menyerupai orangtua mereka, bagaimanapun upaya para ibu dan pengasuh. Dalam sekejap mata mereka telah menggunduli pohon Natal itu hingga manis terakhir dan telah berhasil merusak sebagian mainan mereka bahkan sebelum mereka tahu mainan itu untuk siapa.

Salah satu di antara mereka adalah seorang anak lelaki kecil tampan, bermata gelap, dan berambut keriting, yang bersikeras mengarahkan senjata kayunya padaku. Tapi anak yang menyita perhatian paling besar adalah saudarinya, seorang gadis berumur sekitar sebelas tahun, cantik seperti Cupid. Dia pendiam dan peka, bermata kosong, besar, dan penuh. Anak-anak itu entah bagaimana telah menyinggung perasaannya, dan dia meninggalkan mereka dan berjalan menuju ruangan yang sama dengan yang kumasuki. Di pojok sana dia duduk sendirian dengan bonekanya.

”Ayahnya seorang pengusaha yang kaya raya,” para tamu saling memberitahu dalam nada-nada kekaguman. ”Tiga ratus ribu rubel telah siap untuk maharnya.”

Saat aku memutar untuk memandang kelompok dari mana aku mendengar berita ini diisukan, pandanganku bertemu pandangan Julian Mastakovich. Dia berdiri mendengarkan obrolan hambar itu dalam lagak memperhatikan penuh konsentrasi, dengan tangannya di belakang punggungnya dan kepalanya mencondong ke satu sisi.

Selama itu aku terpana atas kelicikan yang dipertontonkan tuanrumah dalam membagikan hadiah. Gadis cilik bermahar tiga ratus ribu rubel itu menerima boneka paling bagus, dan sisa hadiah itu dibagi menurut nilai ke skala terkecil berdasar posisi para orangtua dalam kehidupan. Anak terakhir, bocah lelaki berusia sepuluh tahun, kurus, berambut merah, berkulit bintik-bintik, mendapatkan sebuah buku kecil tentang cerita-cerita alam tanpa gambar maupun sampul depan dan belakang. Dia anak pengasuh. Dia seorang janda miskin, dan anak kecilnya, berpakaian dalam jaket nankeen kecil yang menyedihkan, sepenuhnya terlihat tertekan dan terintimidasi. Dia mengambil buku itu dan perlahan berputar-putar di sekitar mainan anak-anak itu. Dia akan memberikan apa pun untuk bermain dengan mereka. Tapi dia tidak berani. Kau bisa bilang dia tahu posisinya.

Aku suka mengamati anak-anak. Sangat menyenangkan menyaksikan kepribadian mereka dalam memperjuangkan penonjolan diri. Aku bisa melihat barang-barang anak-anak lain punya pesona dahsyat bagi bocah lelaki berambut merah itu, khususnya sebuah mainan gedung pertunjukan, yang ingin sekali dia ikuti sehingga dia memutuskan untuk membudak pada anak-anak lain. Dia tersenyum dan mulai bermain dengan mereka. Satu-satunya apel yang dia miliki dia serahkan pada bocah gendut yang sakunya telah penuh dengan kembanggula, dan bahkan dia menggendong anak lainnya—semua itu semata-mata agar dia diijinkan tetap bermain dengan mainan gedung pertunjukkan itu.

Tapi sesaat kemudian seorang anak nakal jatuh padanya dan memukulnya. Dia bahkan tak berani menangis. Pengasuh itu datang dan memberitahunya untuk berhenti ikut dalam permainan anak-anak lain itu, dan dia merayap ke ruangan yang sama dengan yang dimasuki gadis cilik tadi dan aku. Gadis itu membiarkannya duduk di sampingnya, dan keduanya sibuk mendandani boneka mahal itu.

Hampir setengah jam berlalu, dan aku hampir mengantuk, ketika aku duduk dalam konservatori setengah mendengarkan ocehan anak lelaki dan si cantik bermahar itu, Julian Mastakovich masuk tiba-tiba. Dia keluar dari ruang tamu dengan selubung kegaduhan anak-anak. Dari pojokku yang terpisah tidak luput dari perhatianku bahwa sesaat sebelumnya dia sangat antusias bercakap dengan ayah gadis kaya itu, pada yang baru saja diperkenalkan padanya.

Dia untuk sementara masih berdiri, merenung dan bergumam pada dirinya sendiri, seolah-olah menghitung sesuatu dengan jejari tangannya.

”Tiga ratus—tiga ratus—sebelas—duabelas—tigabelas—enambelas—dalam lima tahun! Katakanlah empat persen—lima kali duabelas—enampuluh, dan pada enampuluh ini—. Mari kita andaikan dalam lima tahun ini akan berjumlah—ya, empat ratus. Hm—hm! Tapi si rubah tua licik sepertinya tidak puas dengan empat persen. Dia memperoleh delapan atau bahkan sepuluh, mungkin. Mari kita andaikan lima ratus, lima ratus ribu, setidaknya, itu pasti. Semua di atas itu untuk uang saku—hm—”

Dia membuang ingus dan akan meninggalkan ruangan saat dia memata-matai gadis itu dan tetap berdiri. Aku, di balik tanaman, luput dari perhatiannya. Tampak olehku dia gembira. Itu pasti perhitungannya yang membuatnya sedemikian rupa. Dia menggosok-gosok tangannya dan menari dari tempat ke tempat, dan menjadi semakin dan semakin gembira. Akhirnya, bagaimanapun juga, dia menguasai emosinya dan berhenti. Dia menjatuhkan pandangan pasti pada pengantin perempuan masa depan itu dan ingin mendekatinya, tapi melirik ke sekitar lebih dulu. Kemudian, seolah dengan hati bersalah, dia melangkah ke gadis itu berjingkat-jingkat, tersenyum, dan membungkuk dan mencium kepala gadis itu.

Kedatangannya tidak diharapkan sehingga gadis cilik itu menjerit ketakutan.

”Apa yang kaulakukan di sini, anak manis?” dia berbisik, melihat ke sekitar dan mencubit pipinya.

”Kami sedang bermain.”

”Apa, dengannya?” kata Julian Mastakovich dengan pandang curiga pada anak pengasuh itu. ”Kau seharusnya pergi ke ruang tamu, bocah,” dia berkata pada bocah lelaki itu.

Bocah lelaki itu tetap diam dan melihat pria itu dengan mata membelalak. Julian Mastakovich melihat ke sekeliling lagi dengan hati-hati dan membungkuk ke gadis itu.

”Apa yang kaudapatkan, sebuah boneka, sayangku?”

”Ya, pak.” Anak itu gemetar sedikit, dan keningnya mengkerut.

”Sebuah boneka? Dan apa kautahu, sayangku, boneka terbuat dari apa?”

”Tidak, pak,” katanya lemah, dan merendahkan kepalanya.

”Kain rombeng, sayangku. Kau, bocah, kau pergilah ke belakang ke ruang tamu, ke anak-anak,” said Julian Mastakovich menatap bocah lelaki itu dengan galak.

Kedua anak itu mengernyitkan dahi. Mereka saling memeluk dan takkan berpisah.

”Dan apakah kautahu mengapa mereka memberimu boneka itu?” tanya Julian Mastakovich, mengeluarkan suaranya semakin pelan.

”Tidak.”

”Karena kau baik, gadis cilik yang sangat baik minggu ini.”

Berkata begitu, Julian Mastakovich tercekam oleh serangan gejolak yang hebat. Dia melihat ke sekeliling dan berkata dalam nada lemah, hampir tak terdengar dengan kegembiraan dan ketidaksabaran:

”Jika aku datang untuk mengunjungi orangtuamu akankah kau menyanyangiku, sayangku?”

Dia mencoba mencium makhluk kecil manis itu, tapi bocah berambut merah itu melihat bahwa dia berada di ambang tangis, dan dia menangkap tangannya dan terisak keras iba. Itu membuat pria itu marah sekali.

”Pergilah! Pergilah! Kembalilah ke ruang lain, ke teman bermainmu.”

”Aku tidak ingin dia pergi. Aku tidak ingin dia pergi! Kau pergilah!” jerit gadis itu. ”Biarkan saja dia! Biarkan saja dia!” Dia hampir tersedu.

Ada suara langkah kaki di pintu masuk. Julian Mastakovich memutar dan meluruskan tubuh terhormatnya. Bocah lelaki berambut merah itu bahkan semakin ketakutan. Dia melepaskan tangan gadis itu, berjalan pelan menyamping sepanjang tembok, dan melarikan diri melalui ruang tamu menuju ruang makan.

Untuk tidak menarik perhatian, Julian Mastakovich juga menuju ruang makan. Dia merah seperti lobster. Pandangannya sendiri ke kaca tampak membuatnya malu. Agaknya dia terganggu oleh semangat dan ketidaksabarannya sendiri. Tanpa mengurangi rasa hormat pada kepentingan dan martabatnya, perhitungannya telah memikat dan menguasainya pada keinginan tamak anak muda, yang terang-terangan mendekati sasarannya—meski ini belum sebuah sasaran; baru demikian setelah lima tahun ke depan. Aku mengikuti pria terhormat itu ke ruang makan, di mana aku menyaksikan tontonan luarbiasa.

Julian Mastakovich, penuh kejengkelan, bisa dalam tatapannya, mulai mengancam bocah berambut merah itu. Bocah berambut merah itu mundur jauh dan menjauh sampai tidak ada tempat tersisa untuknya untuk mundur, dan dia tidak tahu kemana harus berpaling dalam ketakutannya.

”Keluar dari sini! Apa yang kaulakukan di sini? Keluar, aku bilang, kau tak berguna sama sekali! Mencuri buah, iya kan? Oh, jadi mencuri buah! Keluar, kau wajah bintik-bintik, pergilah ke sejenismu!“

Anak yang ketakutan itu, sebagai tempat perlindungan terakhir, merayap dengan cepat ke bawah meja. Penyiksanya, sangat marah, menarik saputangan linen lebarnya dan menggunakannya sebagai cambuk untuk membuat bocah itu keluar dari posisinya.

Di sini aku harus mengatakan bahwa Julian Mastakovich adalah seorang lelaki yang agak gendut, berat, banyak makan, pipi menggembung, perut buncit, dan kaki besar. Dia berkeringat dan terengah-engah dan sangat bernafsu. Begitu kuat ketidaksukaannya (atau kecemburuan?) pada anak itu, sehingga dia betul-betul mulai menyerupai orang gila.

Aku tertawa keras. Julian Mastakovich berbalik. Dia sangat bingung dan untuk sesaat, tampaknya, lupa akan kepentinganya yang penting. Pada waktu itu tuanrumah kami muncul di pintu masuk yang berlawanan. Bocah itu merayap keluar dari bawah meja dan membersihkan lutut dan sikunya. Julian Mastakovich buru-buru mengangkat saputangannya, yang telah dia juntaikan ke sudut, ke hidungnya. Tuanrumah kami memandang ke arah kami bertiga dengan agak curiga. Tapi, seperti lelaki yang telah banyak makan garam dan bisa dengan cepat menguasai diri, dia mengambil kesempatan untuk merebut tamu pentingnya dan memperoleh apa yang dia inginkan.

”Inilah bocah yang aku bicarakan padamu,” dia berkata, menunjuk anak berambut merah itu. ”Aku kira dia baik untukmu.”

”Oh,” balas Julian Mastakovich, masih belum cukup menguasai diri.

”Dia putra pengasuhku,” tuanrumah kami melanjutkan dengan nada memohon. ”Dia wanita miskin, janda opas jujur. Itulah mengapa, jika mungkin bagimu—”

”Mustahil, mustahil!” Julian Mastakovich berteriak cepat. ”Kau harus memaafkanku, Philip Alexeyevich, aku sungguh tidak bisa. Aku telah minta keterangan. Tidak ada lowongan, dan ada daftar tunggu sepuluh yang punya hak lebih besar—aku minta maaf.”

”Sayang,” kata tuanrumah kami. ”Dia anak pendiam dan rendah hati.”

”Bajingan cilik yang sangat nakal, menurutku,” kata Julian Mastakovich, dengan sinis. ”Pergilah, bocah. Mengapa kau masih di sini? Keluarlah kau ke anak-anak yang lain.”

Tak mampu mengendalikan diri, dia melirik padaku. Aku juga tidak bisa mengendalikan diri. Aku tertawa lurus ke wajahnya. Dia memalingkan kepala dan bertanya pada tuanrumah kami, dalam nada yang bisa terdengar olehku, siapa sebenarnya kawan aneh itu. Mereka saling berbisik dan meninggalkan ruangan, tidak mempedulikanku.

Aku terbahak-bahak. Kemudian aku juga pergi ke ruang tamu. Di sana pria hebat itu di kelilingi para ayah dan ibu dan tuanrumah dan nyonyarumah, telah mulai berbicara sangat antusias dengan wanita yang baru saja diperkenalkan padanya. Wanita itu memegang tangan gadis cilik kaya itu. Julia Mastakovich menyanjung-nyanjungnya. Dia bertambah gembira karena kecantikan gadis cilik itu, bakatnya, gemulainya, pendidikannya yang unggul, dan terus-terang menyanjung-nyanjung ibunya, yang mendengarkan hampir tidak mampu mengendalikan airmata kebahagiaan, sementara ayahnya menunjukkan kegembiraannya dengan senyum puas.

Kegembiraan itu menjalar. Setiap orang menanggungnya. Bahkan anak-anak terpaksa berhenti bermain agar tidak mengganggu percakapan itu. Suasana itu dibubuhi dengan kekaguman. Aku mendengar ibu gadis cilik penting itu, tersentuh hingga lubuknya yang terdalam, menanyai Julian Mastakovich dalam bahasa basa-basi yang terbaik, apakah dia akan menghormati mereka dengan datang mengunjungi mereka. Aku mendengar Julian Mastakovich menerima undangan itu dengan antusiasme yang tak dibuat-buat. Kemudian tetamu berpencar dengan sopan ke bagian ruangan yang berbeda, dan aku mendengar mereka, dengan pemujaan dalam nada mereka, memuji-muji pengusaha itu, istri pengusaha itu, putri pengusaha itu, dan, khususnya, Julian Mastakovich.

”Apa dia sudah menikah?” aku bertanya keras-keras pada kenalanku yang berdiri di samping Julian Mastakovich.

Julian Mastakovich memandangku sengit.

”Tidak,” jawab kenalanku, sangat terkejut oleh kesembronoanku yang kusengaja.

***

Beberapa waktu lalu aku melewati Gereja----. Aku bertabrakan dengan sekumpulan orang banyak di sana untuk menyaksikan pernikahan. Hari itu adalah hari yang redup. Gerimis mulai turun. Aku membelah kerumunan itu masuk ke dalam gereja. Pengantin lelaki itu adalah lelaki bulat, gemuk, berperut buncit, dan berdandan terlalu berlebihan. Dia berlari-larian dan banyak omong dan memberi perintah dan menyusun segala. Akhirnya berita kedatangan pengantin perempuan menyebar. Aku berdesakan dalam kerumunan, dan aku melihat kecantikan mengagumkan yang dimiliki musim semi saat baru saja muncul. Tapi si cantik itu pucat dan sedih. Dia kelihatan kacau. Bahkan tampak olehku matanya merah karena baru saja menangis. Kepelikan klasik dari setiap garis di wajahnya memberitahukan arti khusus dan keseriusan pada kecantikannya. Tapi dari kepelikan dan keseriusan itu, dari kesedihan itu, memancarkan kesucian seorang anak. Ada sesuatu yang naif, tenang, dan kemudaan yang tak terkatakan dalam roman mukanya, yang, tanpa kata-kata, tampaknya memohon belas-kasihan.

Mereka bilang dia baru berumur enambelas tahun. Aku melihat pengantin lelaki itu dengan teliti. Tiba-tiba aku mengenali Julian Mastakovich, yang tak kulihat lagi selama lima tahun ini. Kemudian aku mamandang ke pengantin perempuan lagi. —Astaga! Aku berjalan, secepat mungkin semampuku, keluar dari gereja. Aku mendengar gosip dalam kerumunan tentang kekayaan pengantin perempuan itu—tentang mahar lima ratus ribu rubel—terlalu dan terlalu banyak untuk uang saku.

”Kemudian perhitungannya tepat,” pikirku, saat aku mendesak menuju jalan.

*Terjemahan A Christmas Tree and a Wedding karya Fyodor Dostoyevsky

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun