Sedari awal perlu kukatakan bahwa aku tidak pandai bercerita. Kau boleh tidak membaca ceritaku ini. Bila kau memutuskan begitu, atau kau, sedikit saja, meragukan kualitas cerita ini karena aku bukan penulis terkenal, lebih baik tak acuhkan saja tulisan ini. Itu lebih baik, setidaknya bagiku. Aku tak mau dianggap bertanggungjawab atas penyesalanmu nanti.
Aku memang dilahirkan dalam keluarga seniman. Namun aku meragukan darah seniman mengalir dalam nadiku. Aku tak mewarisi bakat menulis yang dimiliki oleh ibuku. Ya, ibuku seorang penulis. Baik cerpen, puisi, novel, maupun nonfiksi. Tulisannya sering dimuat media massa baik lokal maupun nasional. Hal itulah yang membuatku bingung. Aku tak pernah mengerti jalan pikiran ibuku. Sering kali dia berkata padaku, ”Media massa adalah tempat berkumpulnya orang-orang bermulut besar.” Meskipun begitu, seperti yang sudah kukatakan padamu, dia tetap saja menulis di koran-koran. Apakah itu berarti ibuku juga bermulut besar? Mungkin saja.
Aku juga tak mewarisi bakat melukis ayahku. Padahal sudah sejak aku duduk di bangku Sekolah Dasar ayahku hampir tiap hari mengajakku untuk menemaninya melukis. Dia seorang pelukis realis. Waktu aku lulus Taman Kanak-kanak, ayahku memberiku hadiah sebuah lukisannya. Katanya, ”Jangan sekali-kali kau menggambar yang mirip-mirip dengan lukisan ini di sekolah. Kreatiflah!” Di dalam lukisan yang kemudian dipajang di kamarku itu terdapat gambar dua gunung, berpetak-petak sawah, dan sebuah jalan lurus yang membelah petak-petak sawah. Dan matahari sedang mengintip di sela-sela dua gunung yang berimpitan itu. Waktu itu, tentu saja, aku tak mengerti apa maksud perkataan ayahku. Lantas apakah saat ini aku mengerti kata-kata ayahku itu? Mungkin saja.
Kini usiaku 23 tahun. Kautahu? Aku seorang sarjana sastra. Sudah setahun aku menyandang gelar itu. Namun tak seorang pun menyebutku sastrawan maupun kritikus sastra. Tentu saja aku mengambil jurusan literature, bukan linguistic. Maaf, aku lupa menyebutkan bahwa aku lulusan sastra inggris salah satu universitas terkemuka di Malang. Cukup tahu sedikit sejarah Majapahit untuk tahu apa nama universitas tempatku kuliah.
Aku juga sudah membaca banyak buku, dari Machbet hingga Fight Club. Bahkan puisi-puisi Emily Dickinson. Emily Dickinson? Jangan kuatir, aku tak menganggap kematian itu indah. Dan penulis-penulis Rusia, seperti Tolstoy dan Dostoyevsky. Pasti kau sudah bisa menebak apa cita-citaku. Oleh karena itu aku tak butuh pekerjaan selain menjadi penulis. Ya, selama 23 tahun inilah ibuku mendominasi pola pikirku—mungkin.
Untuk menjadi seorang penulis, secara akademik dan lingkungan tempatku tinggal, kupikir modalku sudah mencukupi. Justru itulah masalahku. Selama ini tak satu tulisan pun kuselesaikan. Aku sendiri tak tahu mengapa aku begitu tak produktif. Orang-orang di sekitarku pun bertanya-tanya. Ditambah pengalamanku aktif di pers kampus sewaktu kuliah, seharusnya tulisan-tulisanku kini tersebar di media-media massa. Namun ada orang berpendapat bahwa semua yang kulakukan seperti yang kuceritakan di atas sama sekali tidak menjamin aku bakal menghasilkan tulisan yang bagus. Mungkin pendapat orang itu benar.
***
Keinginanku hanya satu. Menulis. Itu saja. Atau lebih tepatnya menulis cerita, setidaknya cerita pendek.
Aku sempat berpikir untuk menuliskan pengalaman-pengalamanku sewaktu kuliah. Mungkin itu bisa menjadi cerita yang menarik. Kontan aku teringat saat-saat berdebat dengan dosen di kelas. Contohnya: di kelas Drama aku bersikeras bahwa tidak mungkin menganalisis drama sebatas teksnya saja. Apabila kita bisa menganalisis drama hanya dengan naskahnya saja, Andakah yang akan membunuhi para sutradara di seluruh penjuru dunia ini? Itulah pertanyaan yang kuajukan pada dosen mata kuliah Drama waktu itu. Masih banyak lagi tentunya. Teman-temanku bahkan bisa dibilang keterlaluan dalam mengejek para dosen di Program Bahasa dan Sastra. Sering kali mereka berkata, ”Masak lulusan TK ngajar TK.” Memang, Dosen-dosen di tempatku kuliah kebanyakan baru lulusan S1. Itu mungkin juga salah satu sebab mengapa di dalam ijazahku tidak terdapat kata ’fakultas’. Bukankah semua ini menarik untuk dijadikan bahan cerita?
Lain waktu timbul keinginan kuat untuk bercerita tentang kegiatan-kegiatanku di pers kampus. Aku tahu kau pasti akan menertawakanku setelah kuberi tahu bahwa aku tak pernah menulis satu tulisan pun di sana. Tapi kau akan terkejut. Karena aku menempati jabatan yang prestisius selama setahun. Ya, aku adalah editor. Jabatan itu kuterima begitu saja dari pemimpin redaksi tanpa melalui tahapan-tahapan yang seharusnya. Seharusnya? Adakah tahapan-tahapan ”yang seharusnya” itu di dunia organisasi mahasiswa? Mungkin. Tapi entah di mana, yang pasti tidak di tempatku kuliah. Kaumau tahu mengapa aku ditunjuk sebagai editor? Kau tak perlu menjawab pertanyaanku. Aku bisa menebak apa jawabmu. Aku ditunjuk sebagai editor karena aku mampu mengkritik tulisan orang lain. Sedikit perbaikan di sini atau di sana, bereslah sudah. Kadang, banyak tulisan yang kurombak semauku. Selama satu tahun itu, tak seorang pun keberatan dengan kinerja sang penyunting ini. Ha..ha..ha.. Kauingin tahu nama pers mahasiswa di mana aku bergabung? Jangan. Tapi apa salahnya? Toh pers ini masih kecil. Toh pers ini tidak berpengaruh. Lagipula aku takkan rugi. Namun takkan kusebutkan secara langsung apa namanya. Katakan ”Bastra” pada satpam di gerbang masuk dan kau takkan kesulitan mencari-cari. Tapi jangan terkejut saat sampai di sana. Jangan terkejut saat menatap ruangnya acak-acakan. Jangan terkejut bila tak ada orang di sana. Jangan terkejut saat tahu delapan organisasi bersarang di satu ruang itu. Jangan pula terkejut saat menerima terbitan dua atau tiga bulan yang lalu; itu wajar, aliran dana tersendat-sendat di sana. Kurasa itu sudah jelas bila kau berkunjung ke universitasku. Aku tak mampu lagi bercerita tentang pers mahasiswa satu ini. Banyak kebobrokan di sana (selain ketidakmampuan orang-orang yang berkecimpung di sana, seperti yang kusebutkan tadi, dan yang akhirnya kuakui aku pun termasuk di dalamnya) yang tak bisa kusebutkan. Akhirnya kusudahi saja keinginan menulis cerita apa pun yang berhubungan dengan pers kampus ini.
Tapi tunggu, kau pasti ingin bertanya: mengapa aku menggabungkan diri ke dalam organisasi yang bobrok? Ha...ha...ha... Seperti kau juga, aku ingin jadi pahlawan. Bukankah setiap orang ingin jadi pahlawan? Dengan kemampuanku, aku yakin bisa memperbaiki kebobrokan yang ada. Tapi apa hasilnya? Seperti juga kau waktu gagal memecahkan masalah temanmu, aku merasa diriku ini pahlawan kesiangan. Aku tak mampu mengubah apa pun. Meski begitu, hati kecilku masih berkoar-koar: akulah yang dibutuhkan di sini; akulah yang bakal dianggap berjasa di sini. Begitulah, aku terus aktif di sana.
***
Suatu hari seorang temanku seangkatan berkunjung ke rumah. Dia aktif di teater tapi belum lulus kuliah. Sesampainya di kamarku dia bertanya, ”Apa yang kaulakukan?” Aku tahu dia hanya berbasa-basi. Soalnya dia mengenalku. Dia sebenarnya tahu bahwa tak ada yang bisa kulakukan selain mencoba menulis. Tapi kujawab juga pertanyaannya itu. ”Menulis. Apa lagi?” Batinku gelisah sewaktu manjawab pertanyaan itu. Aku takut bila dia ingin membaca tulisan-tulisanku yang kesemuanya belum selesai itu.
Apa yang kutakutkan itu terjadi juga. ”Mana tulisanmu? Biar kubaca!” katanya. Apa boleh buat! Kuserahkan tulisan-tulisanku yang baru dua tiga paragraf itu padanya.
Setelah suasana hening beberapa saat, dia berkata, ”Boleh kasih komentar?”
”Tentu. Aku selalu mengharapkan kritik,” jawabku.
”Nyawa!” jawabnya singkat yang diteruskan dengan kebisuan sejenak. Jawabnya itu membuat kepalaku bertanya-tanya. Nyawa? Apa maksudnya?
Belum sempat kulontarkan tanya padanya dia sudah meneruskan komentarnya. ”Tulisanmu tak bernyawa. Kau harus punya masalah untuk mampu membuat karya sastra yang hidup. Buatlah skenario untuk hidupmu sendiri. Semacam drama dengan dirimu sebagai karakter di dalamnya.”
Kurenungkan komentar temanku itu berhari-hari. Apa benar aku tak punya masalah sementara aku selalu merasa bahwa masalahku adalah ketidakmampuanku untuk menulis? Apa itu bukan masalah? Apakah masalah harus berhubungan dengan orang lain? Ah, aku merasa semakin kerdil.
***
Ide-ide sering kali muncul. Barangkali kepalaku kurang nyaman bagi ide-ide itu. Mereka singgah beberapa detik lalu raib entah ke mana. Selalu begitu. Selalu dua tiga paragraf lantas berakhir dengan kerumitan yang tak pernah kutahu mengapa bisa begitu.
Saat ini, aku mencoba menulis cerita. Bila kau sampai di sini, itu berarti aku mencoba menulis apa yang sedang kaubaca. Untuk melanjutkan tulisan ini sangat susah. Tapi aku berusaha keras agar kau tak kecewa untuk tahu bagaimana akhir dari tulisanku ini. Jangan berpikir aku tak berhenti sesekali untuk memikirkan bagaimana tulisan ini sebaiknya kulanjutkan. Kau salah jika berpikiran begitu.
Ini membutuhkan biaya juga—dengan uang yang tak kuhasilkan sendiri. Aku sudah menghisap sebelas batang rokok. Dan kini aku siap menyulut yang keduabelas. Mungkin kopi yang kuteguk ini cangkir keempat, atau kelima.
Aku bingung. Aku tak tahu apa lagi yang harus kuceritakan padamu. Atau sebaiknya kuakhiri saja ceritaku ini? Aku sungguh malu. Sejauh ini aku hanya mengeluh atas ketidakmampuanku untuk menulis. Untuk ini, aku tak malu menjuluki diriku sendiri sebagai generasi sampah. Aku tak mampu mengetahui apa penyebab masalahku dan bagaimana mewujudkan keinginan-keinginanku. Sungguh mengerikan bukan? Ironisnya, jika aku melanjutkan tulisan ini, akan semakin banyak keluhan yang kulontarkan padamu. Tentu saja aku tak mau disebut sebagai pengeluh.
Sudah kuputuskan. Cerita ini berakhir sampai di sini. Jika kau kecewa karena menghabiskan waktumu untuk membaca cerita ini, jangan menyalahkanku. Sedari awal kau sudah kuperingatkan.
Sebagai penutup, aku ingin bertanya padamu. Mungkin kau merasa ada sesuatu yang mengganjal di pikiranmu? Apa kau ingin mengumpat, atau setidaknya mengatakan suatu kata?
Keterangan: Setting waktu cerita ini berlangsung beberapa tahun lalu. Saat ini Program Bahasa dan Sastra telah menjadi Fakultas Ilmu Budaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H