Mohon tunggu...
Hadi Eko Suwono
Hadi Eko Suwono Mohon Tunggu... lainnya -

Rakyat Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Jerit Sunyi Janda Tua

28 Maret 2012   08:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:22 680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Seorang janda tua bungkuk berjalan pelan terseok-seok.
Di atas punggungnya ada rumah bambu kecil, mungkin rumahnya.
Ia susuri jalanan yang terpanggang terik matahari.
Sesekali ia berhenti, mengatur napasnya yang kembang-kempis.

Ia sudah tempuh jarak yang jauh, sangat jauh--dari kaki gunung.
Kini ia sampai di tengah kota.
Ia berhenti di depan gedung DPR.
Tapi ia diam saja.
Oh, tentu, ia tak perlu bersuara di sana.
Bukankah sejak dulu suaranya sudah memenuhi gedung itu?
Tapi mungkin kalah bising dengan suara perut orang-orang di dalamnya.
Jadi, ia hanya pandangi gedung itu, lama.
Tatapan matanya menembusi dinding-dinding, melumpuhkan pilar-pilar.

Lalu kakinya melangkah lagi--lambat dan makin lambat.
Akan ke mana ia sekarang?
Istana negara?
Oh, benar. Ia berhenti di depan istana negara.
Di sana ia menjerit keras, keras sekali.
"Jangan naikkan harga BBM!"
Kaudengar jeritnya?
Tidak? Mustahil! Mustahil!
Lihatlah! Mulutnya sampai robek, ada darah di kedua sudut mulutnya.
Lihatlah! Kaca-kaca istana negara pecah, tembok-tembok pun retak.
Coba kau diam sekarang! Ia akan menjerit lagi.
"Harga barang pokok bakal ikut naik."
Ah, tampaknya istana negara kosong.

Oh, ia beringsut, tubuhnya makin membungkuk.
Ke mana lagi sekarang?
Laut?
Ya, ia berjalan ke arah laut.
Tapi untuk apa? bunuh diri, mengakhiri derita?
Langkahnya berhenti di pantai.
Rumah bambu di punggung ia dirikan di atas pasir.
Di samping rumah ia buat perapian.
Ia masuk rumah, dan keluar membawa panci.
Ada beras di dalam panci.
Tapi kenapa ia menuju laut?
Ambil air? air laut? air asin?
Ia menanak nasi dengan air laut?
Oh, untuk berlauk garam saja ia tanak nasi dengan air laut!
Sungguh tak masuk akal! tak masuk akal!
Bukankah harga garam murah di negeri kaya laut ini?

Di tepi pantai, lagi-lagi ia menjerit,
Keras, keras sekali, dalam hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun