Salah satu kelebihan perusahan-perusahan smartphones adalah peka dengan situasi psikis dan sosial manusia. Mereka bisa tahu dinamika tingkah laku manusia masa kini. Sepertinya mereka juga tahu bagaimana memompa saraf sensitif manusia untuk membeli produk mereka. Sebut saja, kesukaan kita untuk berselfie atau mengambil foto diri sendiri. Kebiasaan ini bisa lekat dengan kesukaan untuk berlama-lama di depan cermin, bersolek, memperhatikan wajah di smartphones dan memposting foto diri sendiri di media sosial.Â
Mencermati kebiasaan dan kesukaan ini, produk-produk smartphones hadir dengan tawaran produk yang menekankan kualitas selfie. Bahkan beberapa di antaranya meyakinkan konsumen kalau selfie dengan produk mereka bisa menjadikan penampilan (wajah) kelihatan cerah dan menarik.
Kita juga perhatikan tingkah laku kaum selfie mania. Pelbagai pose coba diragakan. Ragam raut muka ditampilkan. Pertanyaannya, apakah selfie membuat kita lebih menarik?
Secara fisik, kualitas selfie produk smartphone tertentu boleh jadi membuat kita menjadi menarik. Yang berkulit kusam bisa berubah menjadi putih dan bersih. Senyuman terasa segar. Namun kalau dipikir-pikir, itu hanyalah fakta semu. Tidak nyata sama sekali. Toh, fisik dan penampilan kita tidak berubah di dunia nyata.
Penampilan kita di dunia maya bisa mengelabui orang lain. Namun di dunia nyata kita tetaplah orang yang sama dengan penampilan fisik yang sama. Tak heran, banyak yang terkejut saat melihat perbedaan saat membandingkan orang antara dunia maya dan dunia nyata.
Kebiasaan selfie kadang membuat kita tertipu bahkan lupa diri. Kita lupa diri karena kita menganggap bahwa diri kita yang sesungguhnya bergantung pada hasil selfie. Kita menganggap diri kita menarik (cantik/ganteng) berdasar pada kualitas selfie yang diambil. Namun kalau kualitasnya tidak bagus kita bisa merasa kecewa dan stress.
Sadar atau tidak hasil selfie yang menarik kerap memompa kita untuk melakukan selfie sebanyak mungkin. Belum lagi kalau kita memposting hasil selfie itu ke media sosial. Lalu, banyak yang memberikan like dan komentar. Tentunya ini semakin menggerakkan kita untuk mengambil momen-momen lainnya.
Selfie juga membuat kita lupa pada kenyataan. Meski semakin banyak kita melakukan selfie, kita tetap seorang pribadi yang sama. Smartphones apa pun tidak akan pernah mengubah karakter dan kualitas diri kita.
Juga, kita lupa kenyataan sekitar. Contohnya saat kita pergi ke tempat wisata. Karena kita sibuk mengambil foto ala selfie dengan latar belakang tempat wisata, kita lupa mengapresiasi tempat tersebut. Yang ada malah kita fokus pada hasil selfie diri kita di tempat wisata itu. Jadinya kita mengabaikan tempat dan momentnya dan kita menjadi terlalu fokus pada diri sendiri.
Yah, tingkah laku selfie membuat cara pikir baru di tengah hidup bermasyarakat kita. Bagus kalau selfie membuat kita semakin berpikir positif. Tetapi kita perlu waspada kalau kebiasaan selfie karena itu membuat kita lupa diri sendiri dan membuat kita menjadi pribadi yang berbeda.
Tidak ada yang melarang untuk berselfie ria. Siapa pun pasti mau mengekspresikan diri. Yang penting adalah selfie tidak menghancurkan pribadi kita.*** Â