Media sosial tampil seperti pedang bermata dua. Dua sisinya sama-sama tajam, tetapi dampak tebasannya berbeda. Pada satu sisi, ketajamannya bisa menolong kita untuk bersosialisasi, mengekspresikan diri dan mengenal banyak hal bermanfaat. Tetapi pada pihak lain, ini bisa menyebabkan ketimpangan sosial dan tingkah laku para penggunanya. Salah satu pengaruh media sosial terjadi pada perilaku sex para penggunanya.
Baru-baru ini (2/4), Mail Onlinememuat berita tentang pengaruh media sosial pada kehidupan sex remaja di Inggris. Harian Inggris ini memberitakan tentang kaum remaja yang menggunakan media sosial untuk melakukan aktifitas sex. Para kaum remaja ini mengirim pesan berupa hal-hal yang bernuansa sex (sexting). Bahkan ada yang berani mengirim foto telanjang mereka lewat media sosial.
Salah satu motifnya yakni mencari dan memuaskan kesenangan pribadi meski mengesampingkan aspek privasi. Namun siapa yang tak menduga kalau perilaku ini menjadi adiktif. Kaum remaja ini malah menjadi ketagihan untuk melakukan hal yang sama, meski itu merusak reputasi dan harga diri mereka sendiri.
Menyikapi  ketergantungan ini, para orang tua pun mengirim anak-anak mereka ke klinik-klinik yang dianggap bisa menyembuhkan dan mengeluarkan mereka dari ketergantungan ini. Salah satu klinik yakni Yes We Can yang terletak di Hilvarenbeek, Belanda. Klinik ini menjadi salah satu tempat alternatif bagi kaum remaja yang ketagian sextexting untuk direhabilitasi dan dirawat.
Pendiri klinik, Jan Willem Poot mengakui bahwa ada peningkatan kasus di tahun 2016/2017. Dan yang paling banyak menjadi korban sexting adalah kaum perempuan. Jan Willem Poot memperhatikan bahwa kaum perempuan cenderung untuk mengekspos bagian tubuh mereka lewat media sosial dan di internet. Terlebih lagi, apabila ada orang yang memuji dan mengapresiasi tentang rupa dan kondisi fisik mereka. Willem Poot bahkan menilai bahwa perilaku ini hampir serupa dengan ketagihan kaum remaja laki-laki pada video games.
Kasus ini (mungkin) belum begitu marak di tanah air kita. Namun bukan tidak mungkin kaum remaja kita juga akan terjerumus pada persoalan yang sama. Ini karena media sosial sudah menjadi bagian hidup keseharian kita.
Sexting lewat media sosial memunculkan ketergantungan yang beresiko pada perilaku dan kehidupan sex. Sexting juga menghancurkan privasi, reputasi dan harga diri pengguna. Demi kesenangan sesaat, seseorang rela mengorbankan harga dirinya kepada publik. Kaum psikoterapis menilai bahwa mengirimkan pesan sex seperti sextextinghampir sama dengan ketergantungan pada obat terlarang. Karenanya ini tidak bisa dipecahkan hanya dalam waktu yang cukup singkat (Daily Mail, 2/4/2017).
Apa yang terjadi pada kaum remaja di Inggris bisa menjadi alarm bagi kaum remaja kita di tanah air dan pengguna sosial pada umumnya. Pada titik ini, kita mesti sadar bahwa media sosial mesti digunakan secara bertanggung jawab. Aspek umum dan pribadi dari media sosial mesti dipahami secara baik. Meski media sosial terbuka untuk umum, kita mesti sadar bahwa tidak semua hal mesti diposting. Ada hal-hal pribadi dan sensitif yang menjadi konsumsi pribadi semata.
Yang bersifat pribadi adalah hal-hal yang hanya boleh disimpan sendiri. Dan kalau boleh ini bukanlah yang berdampak negatif bagi diri sendiri dan kehidupan sosial. Dan lebih jauh, media sosial dilihat sebagai wadah untuk berkomunikasi dan bersosialisasi secara positif. Kita tidak menghancurkan jati diri kita, tetapi kita diperkaya lewat relasi di media sosial.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H