Pribahasa lama berujar, “tak ada gading yang tak retak”. Kita punya kesalahan dan kelemahan. Nas pribahasa ini bisa membahasakan cerita dan kesan dari perhelatan Piala Oscar 2017. Koq bisa, acara setaraf Piala Oscar bisa melakukan kekeliruan?
Kegembiraan para personil film La La Land di atas panggung buyar seketika saat presenter Warren Beatty menyampaikan ke publik kalau dia telah membaca amplop yang salah dari panitia. Beaty dan patnernya, Faye Dunaway membaca amplop yang seharusnya untuk kategori aktris terbaik yang jatuh ke tangan Emma Stone, aktris film La La Land. Kenyataannya, film Moonlight-lah yang memenangkan kategori gambar terbaik (the best picture) untuk Piala Oscar 2017. Dengan kebesaran hati Jordan Horowitz, produser film La La Land harus menyampaikan kalau film Moonlight adalah pemenang yang sebenarnya.
Kisah ini pun mengingatkan kita tentang kisah Miss Kolumbia, Andrea Tovar yang menjadi pemenang miss universe 2016, tetapi itu hanya berlangsung selama 2 menit. Lagi-lagi ini terjadi di ajang internasional, tepatnya di ajang Miss Universe yang berlangsung di Nevada, Amerika Serikat. Semuanya berawal dari Steve Harvey, sang presenter yang keliru membacakan nama pemenang di ajang bergengsi itu. Seharusnya, pemenangnya adalah Pia Wurtzbach, miss Filipina. Atas insiden ini, reaksi pun beragam dari kedua belah pihak. Tentu dalam konteks ini, fans Kolumbia bisa dirugikan karena mereka seolah mendapat harapan sesaat.
Dua insiden di tahun yang berbeda. Reaksi publik berupa-rupa. Pasti ada yang mencela presenter yang bertugas membaca nominasi dan pemenang. Pasti ada juga yang sangat kecewa karena kesalahan fatal bisa terjadi di ajang bergensi dan bertaraf internasional. Ujung-ujungnya kualitas acaranya pun bisa dipertanyakan. Dari kaca mata awam dalam bidang event organizer, saya berpendapat bahwa acara bergensi seperti Miss Universe dan Piala Oscar merupakan konsumsi publik internasional. Kesalahan atau kekeliruan di acara-acara seperti itu bisa menurunkan pamor mereka di mata internasional.
Terlepas dari kesalahan individu dari para presenter, ini menjadi catatan penyelenggara (event organizer). Pertanyaannya, mengapa mereka membiarkan individu seperti Miss Columbia dan personil film La La Land merayakan kemenangan mereka? Kita ambil sampel dari perhelatan Piala Oscar yang terjadi minggu ini.
Saat film La La Land dinobatkan sebagai pemenang sebagai kategori gambar terbaik, tidak ada reaksi negatif dari para peserta yang hadir. Semuanya seolah yakin dengan kualitas film La La Land sebagai pemenang kategori itu. Begitu juga, para personil film yang pergi dan berada di panggung dengan perasaan gembira yang luar biasa. Herannya, panitia yang menyelenggarakan acara ini seolah tertegun. Sejatinya, penyelenggara sudah tahu siapa yang maju sebagai pemenang. Dan kalau kekeliruan terjadi, mereka bisa menginterupsi sedini mungkin. Kenyataannya, kesalahan itu dibiarkan beberapa saat. Situasi inilah yang membuat kesalahan ini menjadi buah bibir media sosial.
Meski yang dirugikan menerima itu kekeliruan ini, tetapi tidak sedikit juga yang kecewa dan berkomentar tentang kesalahan yang terjadi di ajang bergengsi dan bertaraf Internasional. Kekecewaan mereka mesti dipertanyakan. Apakah mereka setuju dengan kemenangan terlambat film Moonlight? Ataukah mereka suka kalau film La La Land seharusnya yang terpilih dalam kategori itu? Hanya publik yang bisa menilai. Yang jelas, kekeliruan sudah terjadi di ajang bergengsi dengan pamor internasional.
Kesalahan di ajang terbesar seperti Miss Universe dan Piala Oscar 2017 menjadi pembelajaran untuk sebuah acara dan event organizer. Panitia acara adalah agen terdepan untuk melancarkan acara, menginterupsi bila ada kesalahan dan menawarkan situasi bila terjadi kesalahan selama acara.
Di balik kesalahan yang terjadi, yang menarik perhatian adalah pihak yang dirugikan. Mereka dengan terbuka menerima kekalahan dan memaafkan kekeliruan yang terjadi. Yang dibanggakan juga adalah sikap personil film La La Land yang dengan lapang dada menerima itu dan mengakui kemenangan film Moonlight.
Pertanyaannya, apa hubungannya dengan debat Pilkada DKI? Di debat pilkada DKI ini bukan soal siapa yang menang terlambat dan kalah kemudian. Mungkin kita masih ingat kesalahan teknis microphone dari mas Agus pada debat I. Kesalahan yang sama juga terjadi pada debat berikutnya pada microphone milik Bapak Anis hingga dia harus mengulang statemennya setelah jeda. Kesalahan seperti ini adalah bagian dari sebuah persiapan panitia dalam sebuah acara. Namun kalau kesalahan yang sama terjadi pada even yang sama, publik pun bukan hanya kecewa tetapi mempertanyakan kualitas panitia penyelenggara. Harapannya, kesalahan seperti itu adalah murni kesalahan teknis dan bukan karena motif lain. Semoga juga kesalahan di ajang internasional seperti Piala Oscar menjadi bahan belajar untuk perhelatan di tingkat nasional.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H