Sejatinya, kontestasi pemilu mempertaruhkan hati nurani rakyat. Hati nurani ini mesti bersih, jujur dan bebas. Saat hati nurani sudah terkontaminasi oleh pengaruh dan isu sesat dari kandidat lain, saat itu pula proses pemilu mengalami kehancuran.
Hati nurani yang “dipaksa” juga adalah bentuk dari penyimpangan pada proses pemilu. Para pemilih tidak boleh dipaksa dengan motif apa pun. Biarkanlah mereka memilih menurut hati nurani mereka. Tentunya, kualitas hati nurani rakyat terbentuk lewat pengetahuan atas calon yang dianggap berkualitas.
Sandiaga Uno, salah satu calon wakil gubernur DKI, mengklaim kalau pada Pilgub DKI putaran I ada beberapa warga yang “terpaksa” memilih paslon no 2 (Ahok-Djarot). Alasan di balik sikap keterpaksaan ini adalah karena soal program. Pemilih seolah ditelikung oleh berita tentang penghapusan beberapa program bila pemilih tidak memilih paslon no 2. (Kompas. Com 3/4).
Entah Sandiaga Uno berbicara menurut data di lapangan atau hanya sekadar bisikan tim sukses, tetapi yang perlu dicermati adalah makna di balik sikap keterpaksaan para pemilih. Ada dua hal yang menarik untuk digarisbawahi dari klaim Sandiaga Uno.
Pertama, sikap terpaksa para pemilih yang dituturkan oleh Sandiaga Uno sebenarnya hanyalah salah satu dari sekian pemaksaan yang terjadi pada Pilgub DKI. Bahkan bentuk pemaksaan itu masih berlangsung pada putaran II
Mungkin Sandiaga Uno tidak sadar kalau ada pemilih yang mungkin terpaksa untuk bergerak ke calon lain karena seruan-seruan yang berbau SARA. Motif SARA menjadi instrumen untuk mencuci hati nurani pemilih. Secara tidak langsung, motif ini juga bagian dari pemaksaan karena menghancurkan hati nurani pemilih untuk mengikuti kemauan kelompok tertentu.
Yah, dengan motif agama, ada orang yang menyebarkan isu tentang surga dan neraka sebagai konsekuensi dari pilihan politik. Salah satu yang lagi santer belakangan ini adalah tidak menyolatkan jenasah bagi kaum Muslim yang memilih pemimpin yang dianggap kafir.
Dengan motif ras, orang menyebar isu tentang perbedaan pribumi dan non-pribumi. Padahal kalau dilihat secara seksama, dua kandidat yang sedang bertarung tidak berasal dari ras murni Indonesia. Ahok berasal dari ras Tionghoa sementara Anies berasal dari ras Arab. Tetapi kelihatannya, isu lebih memaksa hati nurani pemilih untuk tidak memilih ke ras tertentu.
Bungkusan isu-isu ini adalah beberapa bentuk pemaksaan hati nurani. Bahkan ini masih terjadi setelah putaran I Pilgub. Guna memenangkan Pilgub Putaran II, isu-isu negatif muncul ke permukaan. Siapa yang menciptakan pemaksaan, terka sendiri. Hanya ada dua paslon sekarang dan kita gampang melihat siapa yang menjadi korban pemaksaan dengan motif SARA.
Kedua, sejauh mana para pemilih terpaksa memilih paslon no 2? Saya kira kalau sikap pemilih didasarkan pada program yang ditawarkan oleh paslon yang bersangkutan, tentu sikap politik ini sah-sah saja. Toh, program-program yang ditawarkan bukan program paslon lain atau merendahkan program paslon lain.
Sebaliknya, ini mesti menjadi bahan evaluasi. Apakah program-program Sandiaga bukan hasil kopian ataukah hanya mengikuti jejak incumbent?