Fenomena "orang dalam" menjadi salah satu sebab yang merusak sebuah sistem kerja. Betapa bagus dan ketat sebuah sistem, kalau realitas orang dalam menjadi bagian dari kerja sistem tersebut, sistem itu pasti timpang dan tak kerja sebagaimana yang diharapkan.
Hal yang sama acap kali terjadi dalam sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Peran orang dalam itu menjadi salah satu langkah untuk menggolkan niat dan tujuan untuk bisa terdaftar atau pun mendapat jatah untuk masuk sebuah sekolah.
Wajah orang dalam itu bisa bermacam-macam. Bisa saja itu muncul dari lingkup sekolah sendiri. Bisa juga, muncul dari orang-orang yang yang memiliki kuasa dan kewenangan, tetapi bisa mempengaruhi pihak-pihak di sekolah.
Hal yang paling sering juga muncul adalah orang dalam karena faktor latar belakang seperti faktor relasi keluarga/kekerabatan, budaya atau sedaerah, dan bahkan kesamaan agama.
Fenomena orang dalam inilah yang menjadi salah satu sebab dari polemik yang terjadi selama PPDB. Dalam mana, ada yang mengikuti jalan yang telah diatur sekolah, tetapi ada yang melewati jalan belakang dengan memanfaatkan faktor orang dalam.
Parahnya, yang ikut aturan tidak diterima, tetapi yang tak ikut aturan malah mendapatkan jatah. Oleh karena itu, yang melewati jalan belakang itu bisa merusak sistem dan juga mengakibatkan polemik yang bergulir seperti tanpa ujung.
Sebab-Akibat Adanya "Orang Dalam"
Realitas orang dalam bukanlah hal baru dalam konteks sistem kerja. Hal itu seperti menjadi masalah klasik yang kerap menantang dan merugikan sistem kerja, termasuk sistem PPDB.
Sebabnya itu beragam. Salah satunya disebabkan oleh pencarian pengakuan. Menjadi orang dalam bisa mendapat pengakuan dari yang mendapat manfaat. Pengakuan itu berupa dinilai "berjasa" karena telah mendaftarkan anak dari seseorang ke sekolah yang diinginkannya.
Di balik kata berjasa itu, pengakuan lain juga berupa titel sebagai "orang baik" karena telah membantu dalam pendaftaran di sekolah. Terlebih lagi, jasa dan kebaikan itu diceritakan kepada orang lain. Â