Ungkapan "tak ada relasi suami-istri yang sempurna" tampaknya bukan isapan jempol. Hal itu bisa terbukti lewat kenyataan perpisahan dan perceraian yang menimpa suami-istri di tengah kita, walau beberapa di antaranya sudah berelasi dalam waktu yang relatif lama.Â
Sebab perceraian beraneka ragam. Salah satunya adalah karena faktor karakter salah satu pasangan yang menimbulkan ketidakharmonisan dan ketidakcocokan dalam relasi. Salah satu contohnya adalah sikap insecure dari salah satu pasangan.Â
Sikap insecure itu muncul saat merasa diri tak nyaman, "terancam" dari sisi posisi dan status karena melihat dan membandingkan status dan kondisi pasangan. Situasi itu ikut dipengaruhi oleh pandangan dan konteks budaya di mana kita tinggal.Â
Hal ini umumnya terjadi di tengah konteks budaya patriarakat, yang mana sangat menggarisbawahi peran dan pengaruh penting kaum laki-laki. Â Pandangan ini seperti membangun ide bahwa laki-laki harus mencari nafkah dan posisinya lebih tinggi dari perempuan. Pendek kata, peran dan posisi kaum perempuan tak boleh melampaui posisi dan peran kaum laki-laki.Â
Dua hari lalu, saya bertemu dengan seorang laki-laki yang berstatuskan suami dan ayah dari tiga anak. Istrinya guru dan sementara dia hanya tinggal di rumah, mengasuh anak-anak dan mengurus keperluan rumah tangga.Â
Tampaknya, laki-laki ini tak nyaman dengan situasi yang dialaminya. Ketika istrinya pergi ke sekolah, dia harus tinggal di rumah dan tak banyak berbuat untuk menghasilkan pendapatan.Â
Padahal, konteks budayanya menekankan bahwa seorang laki-laki yang sudah bersuami seharusnya memainkan peran penting, termasuk mencari nafkah.
Perasaan itu pun menghadirkan rasa curiga. Laki-laki ini merasa tak nyaman dengan kondisinya dan berharap agar mereka pindah dari tempat tinggalnya saat ini ke tempat berbeda agar dia juga bisa bekerja.Â
Level insecure laki-laki ini masih dalam berada pada batas kewajaran lantaran dia masih mencari cara untuk keluar dari situasi tersebut. Tak sedikit yang menghadapi situasi yang sangat rumit gegara kondisi insecure dari salah satu pasangan.Â
Seorang teman perempuan yang berstatuskan sebagai seorang guru menghadapi situasi yang cukup rumit dalam relasinya dengan suaminya. Suaminya yang bekerja sebagai petani menampilkan rasa insecure dengan cara-cara dan perlakuan yang salah.Â
Pernah suatu kali gegara rasa cemburu, suaminya mabuk dan melontarkan kata-kata kasar tentang istrinya. Yang cukup menyedihkan bahwa hal itu disampaikan di depan banyak orang.Â
Tak hanya itu. Teman ini tampak terkekang. Ke mana dia pergi dan dengan siapa dia bergaul selalu ditanyakan. Jadinya, dia tak menjadi bebas.Â
Situasi ini membuat si perempuan kadang menyesal dengan perkawinan yang telah dijalankan selama lima tahun.Â
Ketika penyesalan seperti itu muncul, titik batas dari kesabaran pun bisa makin mendekat. Ujung-ujungnya barangkali ada niat untuk memilih pisah walaupun menghadapi benturan agama dan budaya.Â
Sikap insecure dari salah satu pasangan dalam relasi suami-istri tak boleh dipandang sebelah mata. Sikap itu apabila sudah menjadi karakter seseorang akan bisa menjadi racun yang merusak relasi suami-istri. Oleh sebab itu, perlu langkah tertentu agar sikap itu bisa diatasi.Â
Paling pertama, perlunya komunikasi yang terbuka antara kedua pasangan.Â
Komunikasi itu menyangkut pemahaman pandangan dan sikap antara kedua belah pihak. Komunikasi itu sekiranya membuka pandangan apabila berhadapan dengan hal-hal yang tak diinginkan atau pun bertolak dengan pandangan umum, termasuk pandangan budaya.Â
Walau persatuan kedua belah pihak ditentukan dan diatur dalam konteks budaya dan agama tertentu, hal yang paling mendasar bahwa keduanya bersatu karena kesamaan cinta yang sama.Â
Kesamaan cinta itu menjadi dasar dari kesataraan dalam berelasi, yang mana perlu menghapus pandangan superior pada salah satu pasangan. Setiap orang diperlakukan secara sama.Â
Langkah kedua, Pandangan kesetaraan itu perlu mendapat penekanan.Â
Berbicara tentang konteks budaya, kita sepertinya berbentur dengan tembok tinggi dan tebal. Namun, kita bisa mencari cara untuk berekonsiliasi dengan kenyataan itu.Â
Bagaimana pun, keluarga masuk dalam konteks domestik, yang mana ada aturan mainnya tersendiri. Relasi suami-istri bisa memainkan aturan seturut kesepakatan bersama tanpa terlalu terikat dengan ikatan dan belenggu budaya.Â
Termasuk langkah membangun kesetaraan di antara kedua belah pihak. Di sini, kedua belah pihak bisa memilih tak terikat dari pandangan budaya yang bisa berujung pada kerusakan dalam relasi.Â
Dengan ini, apa pun pekerjaan dan usaha dari setiap pasangan harus dihargai. Atau juga, perlu penghilangan pandangan bahwa pihak laki-laki lebih tinggi dan dominan dari wanita. Â
Setiap pihak mesti sama. Konsekuensinya adalah pekerjaan salah satu pasangan mesti dihargai. Tak boleh memandang pasangan dari pekerjaan yang dimiliki.
Sikap insecure dalam kerap menjadi biang keretakan dari relasi suami-istri jika tak disikapi secara positif dan tepat sasar. Oleh sebab itu, setiap pasangan selalu terbuka berkomunikasi guna mengoreksi dan melihat atau menyadari kekuarangan dan kelemahan dari masing-masing.Â
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H