Pernah suatu kali gegara rasa cemburu, suaminya mabuk dan melontarkan kata-kata kasar tentang istrinya. Yang cukup menyedihkan bahwa hal itu disampaikan di depan banyak orang.Â
Tak hanya itu. Teman ini tampak terkekang. Ke mana dia pergi dan dengan siapa dia bergaul selalu ditanyakan. Jadinya, dia tak menjadi bebas.Â
Situasi ini membuat si perempuan kadang menyesal dengan perkawinan yang telah dijalankan selama lima tahun.Â
Ketika penyesalan seperti itu muncul, titik batas dari kesabaran pun bisa makin mendekat. Ujung-ujungnya barangkali ada niat untuk memilih pisah walaupun menghadapi benturan agama dan budaya.Â
Sikap insecure dari salah satu pasangan dalam relasi suami-istri tak boleh dipandang sebelah mata. Sikap itu apabila sudah menjadi karakter seseorang akan bisa menjadi racun yang merusak relasi suami-istri. Oleh sebab itu, perlu langkah tertentu agar sikap itu bisa diatasi.Â
Paling pertama, perlunya komunikasi yang terbuka antara kedua pasangan.Â
Komunikasi itu menyangkut pemahaman pandangan dan sikap antara kedua belah pihak. Komunikasi itu sekiranya membuka pandangan apabila berhadapan dengan hal-hal yang tak diinginkan atau pun bertolak dengan pandangan umum, termasuk pandangan budaya.Â
Walau persatuan kedua belah pihak ditentukan dan diatur dalam konteks budaya dan agama tertentu, hal yang paling mendasar bahwa keduanya bersatu karena kesamaan cinta yang sama.Â
Kesamaan cinta itu menjadi dasar dari kesataraan dalam berelasi, yang mana perlu menghapus pandangan superior pada salah satu pasangan. Setiap orang diperlakukan secara sama.Â
Langkah kedua, Pandangan kesetaraan itu perlu mendapat penekanan.Â
Berbicara tentang konteks budaya, kita sepertinya berbentur dengan tembok tinggi dan tebal. Namun, kita bisa mencari cara untuk berekonsiliasi dengan kenyataan itu.Â