Ketika tim nasional Indonesia U-23 gagal meraih trofi di ajang Piala AFF 2023 yang berlangsung di Thailand beberapa waktu lalu, tak sedikit pihak yang memberikan komentar yang bernada positif di balik kegagalan Garuda Muda tersebut.
Komentar positif itu terlahir karena permainan apik Garuda Muda hingga masuk final bermain kontra Vietnam, usia para pemain yang relatif muda dipandang sebagai masa depan timnas, dan daya juang yang mereka tampilkan selama turnamen tersebut.
Muara komentar positif itu pun berujung pada konsep bahwa biar kalah atau gagal meraih piala, yang terpenting para pemain muda itu belajar dari pengalaman yang telah terjadi.
Pada tempat pertama, konsep itu tidaklah salah. Â Bagaimana pun, pengalaman dari setiap laga menjadi bekal dan bahan yang bisa mendewasakan para pemain agar mentalitas mereka makin kuat dan kualitas mereka pun terjaga.Â
Apalagi, hal itu berlaku untuk para pemain muda. Mereka perlu diteguhkan dengan komentar-komentar positif agar bisa menjaga performa terbaik mereka sampai di level senior.
Efek lanjutnya, para pemain itu terbiasa dengan turnamen besar dan tak demam panggung ketika menghadapi laga-laga sulit dan turnamen ketat ketika sudah masuk tim senior.
Kendati demikian, konsep itu patut dievaluasi, atau tepatnya dikoreksi. Alasannya, konsep itu bisa menciptakan pola pikir pembiarsn yang mana kita menerima kenyataan kegagalan sebagaimana adanya karena kita terpenjara pada pola pikir kekalahan sebagai medium belajar dari pengalaman.
Setiap kali timnas Garuda kalah, kita akan selalu menghibur diri dengan pikiran bahwa kekalahan mereka menjadi pelajaran berharga dan mereka perlu belajar dari pengalaman itu.Â
Namun, sampai kapan kita berada dalam pola pikir seperti itu?
Ada kalanya kita perlu keluar atau meninggalkan pola pikir itu. Terkhususnya untuk timnas senior yang sudah melewati proses seleksi, pelbagai turnamen, dan dilengkapi atau diperkuat oleh beberapa pemain naturalisasi.