Tulisan ini bermula dari cerita seorang teman. Teman saya ini adalah seorang perempuan yang sementara mengajukan perceraiannya di pengadilan sipil. Teman ini bekerja sebagai kepala sekolah dasar negeri di salah satu daerah di Filipina.Â
Dia bercerita bagaimana proses perceraiannya berlangsung di pengadilan sipil. Mulai dari urusan pengacara hingga tanya jawab antara dia dengan hakim sewaktu melangsungkan pengadilan.Â
Lalu, pembicaraan kami berlanjut pada akar masalah dari perceraian mereka. Teman ini menyatakan bahwa akar dari persoalan yang terjadi disebabkan oleh mentalitas inferior dari suaminya.Â
Teman perempuan ini mempunyai karier yang cukup baik. Di usianya yang belum masuk kepala empat, dia sudah dipercayai sebagai seorang kepala sekolah dasar di salah satu kabupaten.Â
Untuk konteks Filipina, ketika seseorang dipercayai menjadi kepala sekolah, itu artinya dia mempunyai kompetensi dan peningkatan pangkat di level kepemimpinan.Â
Sebaliknya, karier suaminya terbilang stagnan. Suaminya bekerja di salah satu kantor pemerintahan. Boleh dibilang, karier teman saya itu lebih tinggi daripada suaminya.Â
Situasi itu ternyata membuat pihak suami tak nyaman. Merasa diri inferior dengan pencapaian yang dialami oleh si istri. Apalagi istrinya makin dikenal dan mempunyai relasi yang cukup baik dengan banyak orang.
Misalnya, sewaktu ada acara di rumah. Banyak teman dari si istri dan umumnya berpangkat tinggi yang datang bertamu. Berbeda dengan suaminya yang hanya mempunyai sedikit teman.Â
Situasi itu makin menghambarkan relasi di antara kedua belah pihak. Suami merasa diri tak pantas menjadi pendamping dari temannya itu yang sudah berpangkat tinggi dan terkenal daripada dirinya.Â
Tak ayal, seperti ada sikap protes dan kemarahan yang disampaikan. Bahkan, hal itu menimbulkan tuduhan yang tak perlu. Seperti misal, saat si istri pergi dinas keluar kota, kadang suaminya menyampaikan kecurigaan tertentu.