Tiap konteks selalu melekat dengan budaya tertentu. Budaya itu ikut mempengaruhi cara hidup di komunitas, termasuk di dalam keluarga.
Salah satu budaya yang melekat dalam kehidupan keluarga adalah tentang cara hidup anak, termasuk saat mana anak mesti berpacaran.Â
Realitas anak berpacaran kerap menjadi tantangan besar dalam hidup di keluarga. Terlebih kalau hal itu terjadi di konteks keluarga yang memegang pola pandang tertentu, termasuk tak menerima anak mempunyai pacaran dalam tataran usia tertentu, seperti misal saat masih berada di bangku sekolah.Â
Untuk konteks budaya kami di Flores pada umumnya, anak memiliki pacaran tak gampang diterima. Biasanya, ada kriteria tertentu di mana seorang anak bisa berpacaran, seperti sudah berkuliah atau sudah mempunyai pekerjaan.Â
Makanya, sangat sulit diterima ketika seorang anak sudah berpacaran saat di bangku SMA atau pun kuliah. Apalagi berpacaran di bangku SMP.
Tak jarang, banyak anak yang menyembunyikan pacar mereka dari orangtua. Akibat lanjutnya, anak lebih memilih berbohong daripada berlaku jujur kepada orangtua.
Contohnya, memilih berbohong saat keluar rumah. Padahal, bertemu dengan pacar, tetapi alasan yang dipakai untuk belajar di rumah teman.Â
Pada titik tertentu, hal ini sebenarnya menciptakan kultur yang tak bagus dalam kehidupan anak. Berbohong menjadi bagian dari kehidupan anak karena takut dimarahi, ditegur, dan bahkan dilarang untuk bergaul dengan orang lain.Â
Hal yang sama bisa berujung pada pola pandang anak. Dalam mana, pola pendidikan yang sama akan menciptakan siklus tertentu.Â
Ketika si anak kelak menjadi orangtua, pola pendidikan yang sama bisa saja diterapkannya tatkala dia sudah mempunyai anak.