Tak gampang menghadapi tim sesolid dan sekeras Atletico Madrid. Pada dua leg babak perempat final, Manchester City merasakan kerasnya tantangan bermain kontra Atletico Madrid.Â
Bermain imbang (0-0) pada leg ke-2 (14/4/22) dini hari tadi WIB menunjukkan wajah permainan Atletico dan sekaligus Man City. Seperti biasa, Atletico memainkan sepak bola bertahan sembari mencari celah untuk melakukan serangan balik.Â
Dominasi Man City dihalau dengan permainan keras. Yang berbeda kali ini, Atletico lebih banyak melakukan catatan tembakan ke gawang Man City dan bahkan mencatatkan 3 tempatkan tepas sasar. Man City hanya mencatatkan 1 tembakan tepat sasar.
Beruntung Man City tak menjadi korban dari permainan efektif nan keras ala Atletico. Juga, Man City tak terlalu terprovokasi dengan gaya Atletico. Ini bisa menandakan kualitas dan kedewasaan Man City yang mulai terbangun.Â
Mentalitas seperti ini sangat dibutuhkan dari sebuah tim untuk meraih juara. Mentalitas ini ditempah lewat pelbagai pengalaman.Â
Bagaimana pun, tak gampang menjadi juara Liga Champions. Menjadi juara Eropa tak bisa diraih dengan harga uang tertentu. Itu bisa diraih dengan mentalitas tim yang sudah terbangun dalam waktu tertentu.Â
Naik podium Liga Champions merupakan mimpi  Man City.  Kedatangan dan mempertahankan Pep Guardiola untuk ke lima musimnya merupakan bagian dari mimpi Man City.Â
Hampir saja mimpi itu tercapai musim lalu. Namun, permainan atraktif Man City kandas di tangan Chelsea di partai final. Dalam partai final, boleh saja Man City bermain dominan, tetapi Tuchel hanya memainkan sepak bola bertahan dengan mengandalkan pertahanan yang solid.Â
Belajar dari sistem permainan seperti ini bisa menjadi titik tolak bagi Man City pada musim. Ya, bukan rahasia lagi jika Man City adalah tim yang lebih mengandalkan permainan menyerang.Â
Strategi itu kadang menjadi batu sandungan. Alih-alih ngotot melakukan serangan, lini belakang malah kehilangan konsentrasi. Jadinya, lawan hanya mencari gol tunggal dan kemudian menutup rapat barisan belakang.Â