Sikap ini tentu saja bisa menimbulkan gap dalam relasi. Yang tak divaksin bisa merasa terasing. Sakit hati bisa hadir. Jadinya, tak bebas bergaul dan mulai melihat kita secara negatif.
Sambil menjaga protokol kesehatan, lebih baik kita tetap berelasi sebagaimana adanya. Tetap berkomunikasi secara normal, sembari menghindari bahasa yang cenderung sensitif dan melukai yang menolak untuk divaksin.
Ketiga, Tak Boleh Lelah memberikan Penjesalan tentang Pentingnya divaksin. Â
Tugas kita yang sudah divaksin adalah tetap memberikan penjelasan yang positif, terlebih khusus kepada mereka yang menolak untuk divaksin. Memang, tak menutup kemungkinan ada dari antara kita yang mendapat reaksi tertentu ketika setelah menerima divaksin, seperti demam.
Daripada kita membicarakan reaksi tersebut, lebih baik kita berbicara tentang hal-hal positif yang kita bisa peroleh dari kesempatan divaksin. Kita tak boleh memberikan penjelasan yang lebih memojokan. Tanggung jawab kita adalah memberikan dorongan agar teman atau pun anggota keluarga yang tak mau divaksin kelak memutuskan untuk divaksin. Â
Sejauh ini, belum ada hukum legal yang mengikat kuat bagi mereka yang tak divaksin. Ada pemerintah yang berupaya membangun sistem dengan penerapan, tanpa kartu vaksin, tak boleh naik angkutan umum.
Namun, aturan ini malah menimbulkan pro kontra di tengah masyarakat. Pasalnya, hal itu menimbulkan ketakadilan bagi mereka yang tak divaksin.
Untuk saat ini, mewajibkan setiap orang dengan ikatan hukum legal tertentu masih sangat sulit untuk diterapkan. Alasannya, tiap orang mempunyai pendapat yang berbeda dan ada kebebasan individu yang juga perlu dipertimbangkan dengan seksama. Â
Tugas kita adalah tetap menghargai keputusan setiap individu, agar tak terjadi konflik gara-gara komentar, sikap, dan keputusan yang kita buat.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H