Menjadi seorang pemimpin untuk sebuah konteks sosial atau tempat kerja tertentu tidaklah gampang. Umumnya, sangat sulit bagi seorang pemimpin membahagiakan semua orang dalam satu lingkup area kepemimpinannya.Â
Daripada cenderung lebih berpikir membahagiakan semua orang, lebih baik fokus pada amanah yang dipercayakan. Dalam arti, menjadi pemimpin yang bisa memberikan manfaat untuk tempat kerja. Â
Pada tempat lain, menjadi pemimpin juga bukan soal membahagiakan semua orang. Juga, hal itu menyangkut kesan-kesan yang muncul dari bawahan atau pun orang-orang yang dipimpin mengenai gaya kepemimpinan.Â
Kesan bawahan bisa terlahir lewat tingkah laku seorang pemimpin. Ketika tingkah lakunya menyenangkan, pemimpin itu cenderung disukai oleh mayoritas.Â
Akan tetapi, saat tingkah lakunya tak menarik, pemimpin itu akan menjadi orang yang menyebalkan atau pun ditakutkan di lingkungan kerja.Â
Ketika seorang pemimpin menjadi sosok yang menyenangkan, dunia kerja menjadi rileks dan nyaman bagi siapa saja. Pekerjaan bisa berjalan dalam koridor yang menyenangkan karena bawahan bisa mengekspresikan diri tanpa terpikir dengan beban dari atasan.Â
Sebaliknya, ketika seorang pemimpin adalah sosok yang menyebalkan dan menakutkan, tempat kerja menjadi ruang yang tak hangat. Relasi cenderung kaku. Bahkan bawahan melakukan pekerjaan karena beban ketakutan daripada keleluasaan batin.Â
Siapa saja ingin agar tempat kerja menjadi ruang yang nyaman bagi setiap orang untuk bekerja. Tak ada beban dengan bos atau pimpinan. Relasi dengan sesama pekerja juga menjadi nyaman.Â
Salah satu faktor penentu adalah gaya kepemimpinan. Pemimpin perlu menjadi panutan, mentor, sekaligus sosok yang memberi kenyamana di ruang kerja. Maka dari itu, sangat perlu bagi seorang pemimpin menyadari diri agar tidak menjadi pemimpin yang menyebalkan dan menakutkan.Â
Pertama, Tak boleh memarahi bawahan di depan umum.Â