Ketika timnas Spanyol menjuarai Piala Dunia 2010, tak sedikit pihak yang mengaitkan keberhasilan itu dengan keberhasilan Barcelona. Setengah dari skuad timnas Spanyol saat itu merupakan para pemain Barcelona.Â
Saat itu, Barcelona sementara berjaya dengan gaya permainan tika-taka di bawah komando Pep Guardiola (2008-12). Barcelona berhasil menaklukan Eropa dan dunia dengan gaya permainan sentuhan dari kaki ke kaki.Â
Gaya yang persis sama ini diterapkan di timnas Spanyol. Karena ini, ada pun yang menilai bahwa keberhasilan timnas Spanyol di turnamen internasional, Eropa maupun dunia, tak lepas dari peran Barcelona.Â
Barangkali penilaian ini terkesan berlebihan. Pun, penilaian ini bisa menyudutkan para pemain yang berasal dari klub lain.Â
Namun, tak bisa dipungkiri bahwa gaya permainan di sebuah klub dan liga bisa memengaruhi permainan di timnas.Â
Misalnya, kegagalan Phil Foden yang kalah bersinar di Euro 2020. Foden sempat dipasang sebagai pemain regular, namun terlihat gagal menerjemahkan taktik yang diterapkan oleh Gareth Southgate.
Ada pun menilai kekakuan Foden di timnas ini tak lepas dari peran yang dimainkannya di Manchester City. Di Man City, Foden diinstruksikan untuk memainkan bola dari kaki ke kaki. Penetrasi satu lawan satu dengan pemain lawan kurang ditekankan.Â
Sebagai akibat, saat berhadapan dengan pemain lawan, kecenderungannya untuk segera mengoper bola ke rekan yang berada di ruang kosong. Karena ini, Foden tak terlalu bersinar karena timnas Inggris tak terlalu menekankan gaya operan dari kaki ke kaki.Â
Situasi Liga Inggris agak berubah dengan masuknya Ralf Rangnick ke Manchester United (MU). Masuknya Ralf Rangnick ke MU sebagai pelatih interim hingga akhir musim menambah daftar pelatih asing di Liga Inggris.Â
Kehadiran pelatih asing dari pelbagai negara menambah warna di kompetisi Liga Inggris. Dengan ini, Liga Inggris tak hanya didominasi oleh satu gaya. Paling tidak, dua gaya yang terlihat familiar di mata publik. Gaya tika-taka ala Pep Guardiola dan gaya gegenpressing ala Jurgen Klopp.Â