Saya termasuk orang yang kecewa melihat timnas Indonesia kalah (lagi). Kali ini, kalah telak (lagi). 5 gol tanpa balas dari United Arab Emirates (UAE).
Belum lagi membayangkan ketika negara tetangga, Vietnam yang menghantam Indonesia dengan 4 gol tanpa balas. Beruntung saya tidak lagi mempunyai seorang teman asal Vietnam di sini. Kalau tidak, saya harus siap-siap diejek.
Memang, kekalahan harus diterima. Salah satu konsekuensi menjadi suporter.
Akan tetapi, menjadi sulit diterima ketika kekalahan demi kekalahan menjadi kenyataan yang biasa terjadi. Bukannya bosan, tetapi berujung pada sikap apatis.
Lebih baik menonton dan mengidolakan tim-tim Eropa dari timnas sendiri yang prestasinya mulai ketinggalan dari Vietnam.Â
Ujung-ujungnya, ada ketidaktertarikan menonton sepak bola yang timnas Indonesia. Pasalnya, hasilnya gampang diprediksi. Timnas bakal kalah.
Barangkali reaksi saya terlalu berlebihan menyikapi kekalahan yang terjadi pada timnas. Namun, perlu diingat bahwa sepak bola menjadi bagian tak terpisahkan dari negara Indonesia.
Indonesia termasuk negara penggemar sepak bola terbanyak. Sepak bola menjadi bahan pembicaraan harian. Sepak bola menjadi tontotan yang digemari. Demi menonton liga-liga Eropa, tak sedikit orang yang rela memotong jam tidur.
Nasib timnas Indonesia hanyalah salah satu contoh dari wajah persepakbolaan. Kekalahan menjadi bagian tak terhindarkan dari sebuah tim.
Bahkan ada tim yang menjauh dari rasa menang. Sebut saja, klub Arsenal di Liga Inggris.
Arsenal pernah merasakan kemenangan beruntun di bawah kendali Arsene Wenger. Bahkan Arsenal disebut sebagai invincible tim saat itu. Alasannya karena Arsenal terlihat sulit dikalahkan dan permainannya begitu atraktif.