Ketenangan batin merupakan ideal terdalam dari kita sebagai manusia. Pelbagai cara orang berupaya mencari ketenangan batin.
Ada orang yang pindah dari agama yang satu ke agama yang lain hanya untuk mencari dan mendapatkan ketenangan batin. Ketika orang itu mendapatkan ketenangan batin di satu agama, dia pun memilih bertahan. Kalau tidak terjadi, pindah agama hingga bisa kembali ke agama yang sama menjadi hal yang mungkin. Â
Ada pula orang yang harus pindah tempat kerja, tempat tinggal, hingga menepi tinggal sendirian. Semuanya ini dilakukan untuk mendapatkan ketenangan batin.
Konon, ketenangan batin kerap dinilai sebagai tanda kebahagian seseorang. Orang yang bahagia selalu membahasakan tentang batin yang tenang dan damai.
Mencapai ketenangan batin bukanlah hal yang mustahil. Siddhartha Gautama, atau lebih dikenal dengan Buddha mampu mencapai ketenangan batin dengan meninggalkan kemewahan hidup duniawi dan memilih hidup kontemplatif.
Baginya, ketenangan batin bisa tercapai ketika hidup menepi, berkontemplasi, dan melepaskan diri dari keterikatan duniawi. Bersatu dengan Sang Khalik merupakan cara terdalam untuk mencapai ketenangan batin.
Terlepas dari pengalaman Siddhartha Gautama, hemat saya, ada 3 hal sederhana untuk mencapai ketenangan batin saat berelasi dengan sesama dalam kehidupan sosial.
Kadang ada yang beranggapan bahwa ketenangan batin sulit tercapai ketika kita tinggal di sebuah komunitas. Hemat saya, hal itu bergantung pada bagaimana bersikap. Maka dari itu, 3 hal berikut bisa menjadi panduan sederhana untuk mendapatkan ketenangan batin di lingkungan sosial.
Pertama, Tidak Terlalu Ikut Campur Urusan Orang Lain
Kegelisahan kerap kali terjadi karena terlalu melihat dan peduli hidup orang lain. Terlalu terlibat pada masalah dan urusan orang lain. Urusan orang lain seolah menjadi urusan pribadi. Tidak aman kalau tidak tahu tentang hidup orang lain.
Seyogianya, kita perlu tahu antara urusan pribadi dan urusan publik. Kita hanya perlu masuk urusan publik. Sebaliknya kontrol diri untuk terlibat terlalu jauh pada urusan pribadi orang lain.
Kita bisa mencampuri urusan orang lain, ketika hal itu sudah menganggu ketertiban umum dan moralitas publik. Namun, sejauh urusan orang lain tidak mengganggu hidup kita, ketertiban umum, dan kebaikan bersama, sebaiknya kita perlu mengontrol diri. Â