Barangkali kita pernah menemukan kebiasaan pemilik bisnis seperti warung dan kios yang menggantikan uang kecil dengan permen. Saya masih menemukan itu di beberapa tempat di Flores. Nominal uang kecil itu bisa berupa Rp. 500 hingga Rp.1000.
Biasanya, alasan yang diberikan oleh pemilik kios adalah tidak ada uang kecil. Karenanya, tanpa ragu pemilik kios meminta untuk menggantikan ketiadaan uang kecil itu dengan permen.
Praktik yang seolah diterima begitu saja. Pasalnya, tidak sedikit orang yang mengiakannya permintaan dari pemilik kios tanpa protes. Barangkali sudah menjadi kebiasaan. Akan tetapi, kebiasaan ini terbilang buruk untuk konsumer. Â
Namun, ada orang yang juga menolak praktik seperti itu. Mereka tidak segan-segan untuk meminta uang kembalian atau mencegat pemilik bisnis yang melakukan praktik seperti itu.
Pernah saya dengar sebuah cerita yang entah betul ataukah tidak, tetapi sangat menarik untuk dicermati. Tentang penukaran uang kecil dengan permen.
Suatu kali, seorang bapak tua belanja di sebuah kios. Karena tidak ada uang kecil pemilik kios menawarkan permen. Bapak tua itu menerimanya dengan berat hati.
Keesokan harinya, bapak tua itu kembali berbelanja di kios yang sama. Untuk menggenapi jumlah harga dari barang yang dibeli, bapak tua itu menyertainya dengan jumlah permen yang diberikan oleh pemilk kios di hari sebelumnya.
Pemilik kios menolak, tetapi orangtua itu memaksa dengan alasan kalau dia juga tidak terima ketika uangnya ditukar dengan permen. Â
Cerita ini barangkali menggelitik. Namun, ini bisa membahasakan kalau nilai uang konsumer tidak boleh seenaknya dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu.
Bayangkan kalau ada 100 orang yang datang berbelanja di hari yang sama. Karena tidak ada uang kecil Rp.500 untuk 100 orang ini, mereka harus mendapatkan penggantinya, yaitu permen.
Konsumer rugi. Tidak semua orang suka permen. Sementara itu, pemilik kios mendapatkan keuntungan sampingan.