Kisruh Partai Demokrat masih hangat diperbincangkan. Salah satu tokoh penting dari Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Gatot Nurmantyo pun membuat pengakuan.Â
Gatot memberikan pengakuan jika ada seseorang yang bertemu dengannya. Pertemuan itu bermaksud untuk melibatkan Gatot dalam upaya kudeta inskonstitusional kepada Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dari kursi Ketua Umum Partai Demokrat (Kompas.com 7/3/21).
Pengakuan ini mengejutkan. Pergerakan dari rencana kudeta ikut melibatkan tokoh penting, seperti Gatot. Tentu saja, upaya merekrut tokoh penting dari bagian kudeta merupakan upaya untuk menguatkan upaya tersebut. Semakin penting dan sentral seorang figur, semakin kuat pula upaya yang akan dibuat. Bukan tidak mungkin, kudeta itu pun berujung pada hasil yang memuaskan.Â
Memilih Gatot memang beralasan. Selepas pensiun dari dinas militer, Gatot nampak terlibat dalam KAMI. Walau KAMI lebih menempatkan kubunya menjadi gerakan moral, namun intensi politik dari gerakan KAMI ini sangat sulit dihindari. Hal ini tak lepas dari para figur yang berada di bawah payung KAMI. Umumnya adalah para politisi. Juga, KAMI juga tak jarang berkomentar tentang kehidupan politik di tanah air.Â
Terlepas dari gerakan KAMI, di mana Gatot sebagai salah seorang pemrakarsanya, pengakuan Gatot tentang isu yang terjadi di tubuh Partai Demokrat menarik untuk dicermati. Dalam pengakuannya, Gatot menolak permintaan untuk terlibat dalam kudeta di partai Demokrat.Â
Alasan Gatot cukup personal. Ini berkaitan dengan jasa Susilo Bambang Yudhoyono sewaktu masih duduk di bangku RI nomor 1. Gatot menilai bahwa SBY telah berkontribusi besar dalam karir militernya. Makanya, melakukan kudeta kepada AHY yang berstatuskan putera sulung SBY merupakan hal yang sulit diterima apabila menimbang jasa SBY dalam karir kemiliterannya.Â
Pengakuan ini, pada satu sisi, menunjukkan moralitas dari seorang Gatot. Ingat jasa dan kebaikan seseorang merupakan bagian dari ekspresi moral. Kebaikan seseorang tidak bisa begitu saja dilupakan dan diabaikan demi kepentingan sesaat.Â
Pada sisi lain, ingat jasa ini seperti menjadi tembakan kritis pada Moeldoko. Moeldoko sendiri pernah menjadi Panglima TNI sewaktu SBY masih menjadi Presiden. Kalau ditilik dari kaca mata pengakuan Gatot, Moeldoko sepertinya tidak peduli jasa SBY dalam karirnya di bidang militer. Menerima pinangan KLB di Deli Serdang melupakan relasi lama antara SBY dan Moeldoko. Â
Lebih jauh, pengakuan ini bisa menarik simpati dari SBY. Hal ini bisa membuka panggung politik bagi Gatot di mata SBY dan Partai Demokrat sendiri. Terlebih lagi, ketika Partai Demokrat menjadi kuat setelah berhadapan dengan persoalan yang sementara terjadi di dalam tubuh partai.
Bukan tidak mungkin, Gatot bisa mendapat tempat di Partai Demokrat. Bahkan ini bisa melapangkan kepentingan politik Gatot andaikata beliau kelak melakukan konsolidasi dengan Partai Demokrat untuk kepentingan politik tertentu. Atau juga, Partai Demokrat melirik Gatot sebagai salah satu alternatif partai untuk mendongkrak popularitas partai dan kepentingan politik partai sendiri.Â
Pengakuan Gatot bisa diterjemahkan lewat pelbagai sudut politis. Bisa saja, itu bukan sekadar ingat jasa SBY yang telah berjasa pada karir Gatot di militer. Lebih jauh, pengakuan itu bisa membuka ruang relasi politik yang lebih akrab antara Gatot, SBY dan Partai Demokrat yang berada di bawah komando AHY.Â