Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat dan mantan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ikut berkomentar tentang hasil kongres luar biasa (KLB) Partai Demokrat versi Deli Serdang, Sumetra Utara. Dalam komentarnya itu, Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko ikut disoroti.
Dalam KLB ini, Moeldoko yang bukan merupakan kader partai Demokrat terpilih sebagai ketua umum partai lewat KLB di Sumut. Selain itu, soroton itu juga berhubungan pada relasi yang pernah terbangun antara SBY dan Moeldoko. Â
Moeldoko bukanlah sosok asing bagi SBY. Beliau pernah menjadi panglima TNI sewaktu SBY masih berada di kursi presiden pada tahun 2013. Mengingat ini, SBY hanya menyatakan rasa malu dan bersalah karena telah memberikan banyak kepercayaan kepada Moeldoko (CNN Indonesia.com 6/3/21).
SBY mengingat masa lalu ketika Moeldoko masih berada di bawah kepemimpinannya. Tentu saja, relasi itu bukan sekadar pimpinan dan bawahan tetapi seyogianya telah menjadi rekan politik. Pendeknya, keduanya pernah berada di satu perahu untuk melaksanakan pelbagai kebijakan politik di negara ini. Â
Namun, situasi berbeda setelah terjadi isu kudeta hingga KLB di Deli Serdang. Relasi yang pernah terbangun di masa lalu seolah menguap di hadapan kepentingan politik. Hal ini seolah mengamini bahwa di dalam dunia politik, tidak ada relasi yang kekal, yang kekal adalah kepentingan politik.
Kepentingan politik sudah berubah. Barangkali Moeldoko tidak mau terus berada di bawah bayang-bayang kepemimpinan SBY. Ingin mendapatkan kepentingan yang berbeda. Makanya, kesempatan menjadi ketua umum yang telah ditentukan oleh KLB Partai Demokrat versi Deli Serdang bisa menjadi kesempatan untuk membangun karir politik bagi Moeldoko.
Tak tanggung-tanggung, dalam KLB Deli Serdang ini Moeldoko mengalahkan salah satu mantan politisi senior partai Demokrat, Marzuki Alie. Tidak sampai di situ, selepas pemilihan itu, Moeldoko pun hadir di tempat pemilihan, diterima para pendukung yang hadir di KLB, dan mendapatkan jaket biru Partai Demokrat.
Menjadi ketua umum partai Demokrat versi KLB Deli Serdang merupakan kesempatan politik bagi Moeldoko. Bukan tidak mungkin ini pun menjadi jalan bagi Moeldoko untuk membangun karir politik yang lebih luas, termasuk terlibat di pilres pada 2024.
Memang terlalu dini untuk berbicara tentang keterlibatan Moeldoko di pilres 2024. Namun, melihat pergerakan politik ini, boleh saja Moeldoko berpikir pada waktu yang akan datang. Kendaraan politik sudah ada.
Tinggal bagaimana Moeldoko dan timnya melakukan konsolidasi dengan partai-partai lain. Andaikata KLB versi Deli Serdang ini mendapat pengakuan banyak kader partai Demokrat bisa saja Moeldoko bisa terus menguatkan kekuatan politik untuk jangka waktu yang akan datang.
Keterlibatan Moeldoko di tengah perpecahan partai Demokrat bisa membahasakan kepentingan politiknya. SBY dan AHY boleh saja mencela dan mengkritisi langkah politik Moeldoko di partai Demokrat, namun di hadapan kepentingan politik, celaan dan kritik itu bisa serupa angin berlalu. Kerap kali yang dikedepankan adalah pencapaian kepentingan politik.