Kehadiran Gibran Rakabuming Raka di dunia politik, terlebih khusus terlibat dalam pemilihan walikota Solo menimbulkan pelbagai diskusi politik di tanah air. Salah satu alasan kuat di balik diskusi politik itu adalah status Gibran sebagai putera Presiden Jokowi. Sorotan politis yang menguat adalah soal dinasti politik.
Sampai kini, diskusi politik tentang Gibran masih berkutat. Yang paling santer dibicarakan adalah kecurigaan Partai Demokrat pada sosok Gibran karena pemerintah belum merevisi UU Pemilu. Partai Demokrat menilai jika pemerintah melakukan hal itu sebagai cara untuk melapangkan jalan Gibran sebagai calon gubernur DKI Jakarta pada tahun 2024.
Kecurigaan yang bernada politis. Tentu saja, Gibran mempunyai daya jual. Bisa saja, Gibran mengikuti jejak ayahnya, Presiden Jokowi.
Berstatuskan putera presiden dan rekam jejak sang ayah yang tak diragukan lagi di pentas politik tanah air, Gibran mempunyai ruang untuk mengekspresikan karier politiknya di kancah yang lebih luas.
Hemat saya, Gibran seyogianya fokus terlebih dahulu pada statusnya sebagai walikota Solo yang terpilih pada 9 Desember 2020 lalu. Lebih baik bekerja dan menyelesaikan satu masa kepemimpinan di Solo. Masa kepemimpinan itu bisa dipakai sebagai ladang untuk menimba ilmu dan pengalaman berpolitik.
Kinerja di Solo pun bisa menjadi tolok ukur bagi Gibran bisa berkancah di ruang politik yang lebih luas termasuk DKI Jakarta. Pada saat kinerjanya berjalan bagus, partai politik pastinya tidak segan untuk menarik Gibran.
Berbeda dengan Gibran, penolakan RUU Pemilu juga berujung pada pikiran tentang rencana untuk menjegal Anies Baswedan untuk terlibat di Pilpres 2024. Segelintir pihak menilai bahwa penolakan RUU Pemilu dinilai sebagai salah satu cara untuk menjegal Anies di Pilpres 2024.
Kalau memang benar penilaian ini, hal ini cukup miris untuk konteks negara demokrasi. Seyogianya setiap individu diberikan peluang yang sama untuk mendapatkan hak berpartisipasi politik.
Di lain pihak, ini juga menunjukkan popularitas Anies di mata publik. Beliau termasuk salah satu figur popular yang kerap masuk dalam bursa calon presiden pada pilpres mendatang. Kehadiran Anies bisa membuat peta persaingan di pilpres menjadi seru. Bisa dikatakan kalau Anies mempunyai tandem yang seimbang dan didukung oleh kendaraan politik yang kuat, peluang baginya untuk RI nomor 1 bisa terbuka lebar. Â
Menyikapi kecurigaan di balik polemik tentang RUU Pemilu, pihak istana pun bersuara. Melansir berita dari CNN Indonesia (17/2/21) dan Kompas.com (16/2/2020), Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyampaikan bahwa UU Pilkada disahkan pada tahun 2016. Praktino menyatakan bahwa UU Pilkada didasarkan pada UU Nomor 10 tahun 2016. Dalam UU ini menyatakan bahwa Pilkada digelar secara serentak di seluruh daerah di tahun 2024 bersamaan dengan Pilpres dan Pemlu Legislatif. Berdasarkan ini, pihak pemerintah menolak revisi UU karena UU yang dibuat tahun 2016 belum dijalankan.Â
Pada tahun itu juga, Gibran masih melangsungkan bisnis martabak, sementara Anies sendiri belum menjadi gubernur DKI Jakarta. Maka dari itu, kecurigaan yang beredar tidak berdasar sama sekali. Â