Filipina termasuk salah satu negara yang begitu menggemari kontes kecantikan, seperti Miss Universe. Tidak heran, mereka begitu antusias untuk menonton acara tersebut. Bahkan, mereka kerap mengadakan pelbagai kontes kecantikan mulai dari level desa.
Apalagi jika kontestan dari negara yang dipimpin oleh Presiden Duterte ini memenangi sebuah kontes kecantikan. Dia dipuja. Halaman media masa akan dipenuhi fotonya. Seketika itu pula dia menjadi seperti pahlawan.
Sejauh ini, negara Filipina menjadi salah satu negara yang kerap menjuarai pelbagai kontes kecantikan. Saya masih ingat ketika seorang teman Filipina berbicara tentang salah satu kontes kecantikan. Dia menyinggung kontestan asal Indonesia.
Karena saya tidak begitu tertarik, saya hanya mendengar ceritanya itu. Namun, saya agak terganggu ketika teman itu mengatakan bahwa kontestan asal Indonesia berkulit putih seperti kontestan Filipina. Mendengar itu, saya hanya berceloteh di dalam hati bahwa banyak orang berkulit putih seperti orang Filipina di Indonesia.
Bukan hanya kali itu saja saya menjumpai jika orang-orang Filipina tidak yakin ketika ada orang Indonesia berkulit putih atau mempunyai ciri-ciri fisik seperti mereka.
Ketika ada orang yang pulang bekerja dari luar negeri, mereka akan berkisah tentang teman-teman mereka asal Indonesia. Kadang ada yang mengatakan kalau warna kulit mereka serupa dengan orang-orang Filipina.
Saya sendiri berkulit agak coklat. Banyak orang yang tinggal di tempat saya bekerja umumnya juga berkulit coklat seperti saya.
Sebelumnya ada juga teman Indonesia yang bekerja di tempat ini. Dia berkulit hitam. Karena ini, mereka membuat perbandingan. Mereka mengatakan kalau saya seperti tidak berasal dari Indonesia karena warna kulit hampir serupa dengan penduduk setempat.
Barangkali mereka hanya bertemu dengan teman-teman asal Indonesia yang berkulit coklat dan hitam. Makanya, pandangan mereka sudah terkotakan oleh pengalaman itu.
Hal yang sama juga kadang terjadi di konteks kita Indonesia. Tidak sedikit orang yang merasa kurang yakin ketika ada orang yang berkulit putih berasal dari NTT dan Papua misalnya. Ini terjadi karena orang menganggap bahwa daerah-daerah tertentu terdiri dari orang-orang berkulit hitam dan berambut keriting.
Pola pikir seperti ini membahasakan kesempitan berpikir. Kesempitan berpikir ini berujung pada pernyataan dan sikap yang rasis. Dalam mana, hal itu mengkotak-kotakan orang berdasar ciri fisik dan merendahkan ciri fisik yang dimiliki itu.
Â
Dua Cara Bongkar Sikap Rasis
Pertama, membongkar pikiran rasis dengan belajar banyak daerah-daerah lain, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Tidak perlu kita terpaku pada budaya dan wilayah kita sendiri. Juga, tidak hanya melihat wilayah lain dari atas permukaan.
Kita perlu keluar dari tempat nyaman kita dan mencari pelbagai pengetahuan yang memberikan informasi tentang orang-orang yang berada di luar diri kita.
Sebelum saya datang ke Filipina, saya berpikir bahwa setiap orang Filipina itu putih. Padahal, itu hanyalah pikiran sempit saya. Bahkan ada orang yang berkulit hitam dan berciri fisik seperti orang-orang NTT.
Melihat kenyataan ini saya begitu kaget. Padahal, saya terpenjara pada pikiran yang sempit. Karena ini, saya menilai orang dan tempat dari level permukaan dan pengetahuan yang terbatas.
Sikpa rasis bisa dilawan kalau kita berupaya untuk belajar budaya dan wilayah berbeda. Kita berani memasuki wilayah dan kebudayaan berbeda. Dengan itu, pikiran dan pandangan kita bisa terbuka.
Kedua, agar mengatasi sikap rasis, kita seyogianya tidak melihat setiap pola pikir dari sisi diri kita sendiri. Kadang kala kita terjebak dan terkotakan pada kriteria yang kita miliki sampai melupakan situasi di luar kriteria kita.
Misalnya, kalau berkulit putih berarti menarik. Padahal, tidak semua orang berkulit putih menarik. Kenyataannya, ada orang yang tidak melihat berkulit putih menarik. Mereka malah lebih memilih yang berkulit sawo matang, coklat, dan berkulit hitam sebagai pasangan hidup.
Pembongkaran pikiran rasis perlu mulai dari keluarga. Orangtua mengarahkan anak-anak menerima diri mereka apa adanya. Begitu pun, menuntun anak-anak untuk menghormati orang sebagaimana diri mereka.
Pola pendidikan ini dilanjutkan di level sekolah. Tidak boleh melihat teman dan guru dari penampilan luar dan latar belakang mereka. Namun, menghormati setiap pribadi sebagaimana adanya mereka.
Sikap rasis bisa menjadi sebab konflik sosial. Tentunya, kita tidak mau terlibat dalam sebuah konflik. Maka dari itu, kita perlu menghancurkan sikap dan pikiran rasis yang ada di dalam diri kita. Kita menciptakan dan menjaga perdamaian dengan menghargai satu sama lain, tanpa peduli latar belakang dan ciri fisik yang dimiliki.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H