Saya sudah mulai masuk dalam sebuah komunitas yang multibudaya sejak SMP di komunitas sekolah berasrama. Komunitas ini terdiri dari individu yang berasal dari pelbagai latar belakang yang berbeda. Salah satu perbedaan kami itu terletak pada bahasa.
Sebagian besar dari kami berasal dari wilayah yang berbahasa Manggarai. Waktu itu, Manggarai belum terbagi ke dalam 3 kabupaten sebagaimana saat ini. Namun, ada teman kelas yang berasal dari kabupaten-kabupaten tetangga di Provinsi NTT.
Dengan mereka ini, kami harus berbahasa Indonesia. Tanpa berbahasa Indonesia, komunikasi bisa mandek. Bahkan itu bisa menciptakan kesalahpahaman antara satu sama lain. Â
Kalau dihitung-hitung hingga hari ini, sudah lebih dari 20-an tahun saya hidup dalam sebuah komunitas multibudaya. Saat ini, saya tinggal di sebuah komunitas yang terdiri dari beberapa orang Filipina, Italia, Amerika Serikat, dan Polandia. Bahasa Inggris menjadi bahasa pemersatu yang bisa menghidupi komunitas kami.
Dari sekian tahun menjalani hidup dalam sebuah komunitas, paling tidak saya menyadari bahwa hidup berkomunitas bukan saja momen untuk menerima persamaan, tetapi juga mengakui perbedaan di antara kami.
Tidak Hanya Menerima Persamaan
Umumnya, kita merasa nyaman ketika bertemu dengan teman-teman seasal. Apalagi kalau berbahasa yang satu dan sama. Dengan ini, komunikasi menjadi lancar. Relasi bisa terjalin erat.
Namun, situasi ini bukanlah hal yang baik untuk sebuah komunitas yang multibudaya. Ini bisa menjadi salah satu tantangan dalam membangun sebuah komunitas.
Seorang teman pernah bercerita tentang pengalamannya hidup dalam sebuah komunitas. Dia mau belajar bahasa Ilokano, salah satu bahasa yang umumnya dipakai di bagian Utara Filipina.
Akan tetapi, anggota komunitasnya lebih berbahasa Tagalog, bahasa yang dipahami secara umum di Filipina. Teman ini tidak memahami Tagalog. Jadinya, dia menjadi susah belajar bahasa Ilokano di komunitas itu. Â
Maka seorang teman asal Filipina menanyai dia tentang perkembangan belajar bahasa Ilokanonya. Dia menjawab, bagaimana mungkin bisa belajar Ilokano, sementara anggota komunitasnya tidak menggunakan bahasa Ilokano dalam berkomunikasi. Makanya, perkembangan belajar bahasanya menjadi mandek.
Hanya menerima persamaan di sebuah komunitas bisa menimbulkan ketimpangan dalam relasi di komunitas. Bisa saja, yang berbeda budaya akan mencurigai orang dari budaya lain hanya karena bahasa yang dipakai. Maka dari itu, kita perlu keluar dari persamaan itu, sambil berupaya untuk mengakui perbedaan di antara satu sama lain.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!