Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Faktor yang Bisa Memenangkan Pilkada di Tengah Pandemi

6 September 2020   21:04 Diperbarui: 8 September 2020   21:52 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pilkada. Sumber foto:Kompas/Didie SW

Pada beberapa hari terakhir ini, wajah pelbagai media di Indonesia dihiasi dan bahkan dipenuhi oleh gemerlap pilkada 2020. Ada momen pendaftaran para calon, dan ada pula momen tatap muka para calon dengan masyarakat.

Satu hal yang nampak terjadi adalah kerumunan massa yang merupakan pendukung dari para calon politik. Secara umum, kerumunan massa sangat sulit dihindarkan di tengah situasi momen pilkada, walaupun kita berada di tengah pandemi.

Pilkada selalu menjadi magnet bagi banyak orang untuk berkumpul. Malah, tidak terlalu menarik jika para kandidat tidak ditemani oleh banyak orang. Keberadaan massa bisa menjadi salah satu petunjuk dari kekuatan calon yang bertarung dalam sebuah pilkada.  

Saya membaca status dari seorang teman tentang situasi pendaftaran salah satu kandidat pilkada di salah satu kabupaten di Flores. Begitu banyak pendukung yang ikut dalam pendaftaran ini.

Maka dari itu, teman itu pun membuat kesimpulan bahwa kandidat itu berpeluang besar untuk memenangkan kontestasi di kabupaten tersebut. Gara-gara banyak pendukung yang ikut terlibat dalam pendaftaran, teman ini melihat itu sebagai tanda kemenangan. Padahal, kesimpulan itu bisa saja keliru.

Kerumunan banyak orang di musim pilkada menjadi salah satu situasi yang sulit terhindarkan. Semakin banyak orang yang terlibat dalam sebuah acara politik, semakin besar optimis yang terbangun di dalam diri kandidat dan para pendukungnya.

Makanya, sangat sulit untuk memisahkan momen pilkada dari kerumunan para pendukung. Malahan, kerumunan massa sangat diharapkan agar membangkitkan semangat di dalam kubu para calon politik.

Namun, situasi pilkada tahun ini berbeda dengan waktu-waktu lalu. Kita masih berhadapan dengan pandemi korona. Sejauh ini belum ada vaksin atau pun penangkal pada penyakit Covid-19 ini. Pemerintah dan pihak kesehatan hanya memberikan instruksi untuk mengikuti protokol kesehatan.

Begitu pula dalam pesta demokrasi pilkada. Sejauh ini, pemerintah meminta para kandidat untuk mematuhi protokol kesehatan.

Salah satu protokol kesehatan yang ditekankan adalah jaga jarak. Namun, melihat para pendukung yang menciptakan kerumunan tanpa menciptakan jarak yang cukup, bisa dikatakan jika protokol kesehatan itu tidak dipatuhi.

Sebagaimana pesta demokrasi pada umumnya, pilkada adalah pesta rakyat. Pesta di tengah situasi pandemi merupakan sebuah tantangan bagi rakyat.

Tanpa mengesampingkan pesta demokrasi itu sendiri, kesehatan juga menjadi bagian yang sangat penting. Apalagi belum ada obat ataupun vaksin yang menjadi jaminan bagi kesehatan masyarakat. Bukan tidak mungkin, banyak rakyat yang lebih memilih kesehatan daripada terlibat dalam kerumunan massa demi kepentingan pilkada.

Karena itu, pesta demokrasi ini bisa saja sepi pendukung. Atau juga ramai tetapi risikonya bisa besar seperti terbukanya peluang keterjangkitan covid-19. Terlebih lagi, tidak ada pengecekan yang ketat di setiap aktivitas yang melibatkan kerumunan banyak orang.

Seperti yang terlansir dalam CNN Indonesia.com (5/9/20), Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyatakan bahwa 46 persen pemilih enggan untuk memilih di Pilkada tahun ini karena faktor pandemi yang sedang berlangsung.

Survei ini tidak serta merta menjadi kata final untuk membenarkan apa yang akan terjadi. Akan tetapi survei ini bisa menjadi salah satu tolok ukur bagi para calon melihat keterpilihan mereka di Pilkada tahun ini di tengah situasi pandemi.

Kita tidak bisa mengatakan bahwa pandemi akan berakhir di bulan Desember saat terjadi Pilkada. Boleh jadi, pandemi akan terus ada dan situasinya malah semakin genting.

Lihat saja, penambahan pasien di beberapa hari terakhir. Hari ini saja (6/9), ada penambahan 3000-an kasus corona di Indonesia. Sementara itu, tinggal 3 bulan lebih masyarakat berhadapan dengan pilkada.

Maka dari itu, para calon perlu mencerna situasi masyarakat atau pemilih di tengah situasi pandemi. Yang bisa keluar sebagai pemenang adalah mereka yang mempunyai basis pendukung kuat. Mereka akan memilih tanpa pandang situasi yang terjadi. Mereka adalah loyalis yang sungguh-sunggu mau memenangkan calon mereka.

Kalau sudah mengukur kekuatan basis kekuatan ini, para calon bisa mensurvei masyarakat yang berada di area kegamangan. Mereka yang berada pada area ini adalah mereka yang enggan untuk memilih karena faktor pandemi.

Para kandidat bisa menggunakan strategi bagaimana mengundang mereka untuk hadir dalam pesta demokrasi sembari memberikan jaminan keselamatan kesehatan bagi mereka. Bagaimanapun, situasi pandemi korona bisa mempengaruhi pemilih terlibat dalam kontestasi politik. 

Pandemi korona bisa memengaruhi peta politik di sebuah kontestasi. Figur petahana bisa saja tergeser karena korona. Atau juga petahana diuntungkan oleh korona karena dia mempunyai basis massa yang sudah terbangun semenjak mereka duduk di bangku kekuasaan. 

Dengan kata lain, pandemi korona bisa memengaruhi peluang para kandidat dalam memenangi kontestasi politik. 

Yang paling perlu adalah selalu mencermati situasi pandemi. Melepaskan analisa kemenangan pilkada dari situasi pandemi bisa saja menjerumuskan para kandidat pada kegagalan dalam sebuah kontestasi politik. Makanya, jangan anggap enteng pandemi yang sementara berlangsung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun