Turun dari tysicle (salah satu angkutan khas di Filipina), muka anak perempuan itu agak cemberut. Saya menyapanya, tetapi dia tidak menjawab. Biasanya, dia yang selalu menyapa pertama kali ketika saya berkunjung ke rumah mereka.
Setelah ibunya membayar angkutan trysicle, saya pun bertanya sebab dari sikapnya itu. Menurut ibunya, itu terjadi gara-gara sang ibu tidak membeli phone seturut keinginannya.
Dia menginginkan yang phone yang berlayar agak besar dan tipis, tetapi harganya tidak sesuai dengan sejumlah uang yang dimiliki oleh sang ibu. Ibunya memilih phone yang sudah cukup membantunya belajar lewat internet.
Terbentur antara keinginan dari keduanya, sang ibu pun mengurungkan niatnya untuk membeli phone. Daripada nanti phone yang dibeli tidak dipakai atau juga diabaikan saja, lebih baik keputusan untuk mengadakan phone ditangguhkan dulu. Jadinya, pelajaran daring yang seyogianya mulai pada 24 Agustus bisa saja terbentur oleh keinginan di antara anak dan orangtua.
Pembelian phone ini pun gara-gara seruan untuk belajar daring. Seperti di Indonesia, dinas pendidikan di Filipina juga menyerukan kepada guru untuk memanfaatkan fasilitas internet sebagai media untuk belajar bagi para siswa. Ini pun memompa pihak orangtua untuk menanggapi upaya itu secara positif.
Persoalannya juga sama seperti di Indonesia. Tiap keluarga, terlebih khusus orangtua, tidak mempunyai kemampuan finansial yang cukup untuk mengakomodasi pelajaran daring. Tidak sedikit keluarga yang berekonomi lemah. Makan tiap hari saja susah, apalagi mengadakan phone dan membeli pulsa.
Saya masih ingat cerita tentang seorang guru SMP di sini. Katanya, kadangkala siswanya tidak datang ke sekolah hanya karena tidak mempunyai uang transportasi atau juga uang untuk membeli makanan. Dengan situasi seperti ini, tentunya belajar daring pun bukanlah persoalan gampang.
Kisah di awal tulisan ini hanya sebagian kecil tantangan dari situasi belajar daring. Ibunya terpaksa menambah anggaran rumah hanya untuk mendapatkan phone untuk anaknya.
Persoalan lanjutnya, saat anaknya juga tidak menerima kenyataan yang terjadi. Bukannya menyelesaikan persoalan, tetapi itu malah menambah beban baru di dalam keluarga.
Persoalan pendidikan di saat pandemi memang memberikan tantangan tersendiri bagi banyak keluarga. Gara-gara belajar daring, orangtua harus putar otak untuk memerankan diri sebagai guru. Padahal, tidak setiap orang mempunyai kemampuan untuk menunjukkan diri sebagai seorang guru.
Tidak hanya itu, orangtua juga harus memaksakan diri untuk mendapatkan suntikan dana tambahan. Dana tambahan untuk menyediakan pulsa secara regular agar anak bisa belajar. Akan tetapi, tidak setiap orangtua berkemampuan cukup.