Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Kosongkan Diri," Metode agar Tidak Gampang Menghakimi Cara Hidup Orang Lain

20 Juni 2020   15:02 Diperbarui: 20 Juni 2020   14:58 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Plattsville church. com

Tidak gampang untuk memasuki konteks baru dengan cara hidup atau budaya tertentu. Perasaan terasing kerap mendominasi. Apalagi jika hidup yang kita hadapi itu sungguh berbeda dengan apa yang kita miliki.

Seorang teman bercerita saat dia memasuki sebuah komunitas baru. Dia masih membawa konsep dari daerahnya.

Di komunitas asalnya, etikat berpakaian sangat ditekankan saat makan bersama dengan orang lain. Paling tidak mengenakan baju yang pantas dan bercelana panjang. Tujuannya, supaya apa yang kita tampilkan tidak merusak pemandangan mata bagi orang lain.  

Namun, di komunitas baru itu, dia menghadapi situasi yang berbeda. Dia mendapatkan jika pemimpin yang menyambut di komunitas itu hanya mengenakan celana pendek dan atasnya dengan kostum bola basket tanpa lengan. Sementara itu, dia berbajuk batik dan bercelana panjang.

Rasa kecewa, mungkin iya. Pasalnya, dia mau memberikan kesan terbaik, tetapi situasinya begitu berbeda.

Situasi itu juga membuat dia begitu shock. Di  komunitasnya terdahulu sudah diatur jika masuk kamar makan atau tempat publik untuk sebuah komunitas, paling tidak bercelana panjang dan berbaju yang pantas.

Dengan kata lain, perlu membedakan mana pakaian olahraga, pakaian tidur dan pakaian berada dengan orang lain di tempat umum.

Menurut teman ini, di komunitasnya dulu tidak baik mengenakan celana pendek dan berbaju tanpa lengan. Pasti orang tidak hanya menjauh, tetapi juga yang melakukannya akan dicela oleh anggota komunitas.

Teman ini boleh kecewa dan shock. Tetapi dia harus menyadari jika dia memasuki sebuah konteks baru dengan cara hidup yang baru.

Pada titik ini, dialah yang mesti menyesuaikan diri, dan bukannya memaksa mereka yang sudah lama tinggal di komunitas itu untuk mengikuti cara hidupnya.

Kalau dia memaksa situasi supaya berjalan seturut cara hidup dari tempatnya, muaranya bisa perdebatan atau konflik di antara satu sama lain.

Masuk ke sebuah konteks hidup yang baru membutuhkan keterbukaan untuk menghadapi dan menerima kenyataan yang baru. Tidak gampang menilai dan menghakimi. Kita perlu berdiam, melihat dan mencerna konteks baru tersebut dengan seksama.

Saya ingat sebuah pesan seorang guru tentang sikap yang perlu saat memasuki sebuah konteks baru. Konteks baru itu unik. Itu mempunyai sistem dan cara hidup tersendiri.

Kerap kali itu berbeda dengan apa yang kita miliki. Perbedaan ini bisa menjadi tantangan sekaligus kesempatan untuk belajar.

Di hadapan perbedaan itu, guru kami itu mengatakan untuk mengosongkan diri (empty oneself). Maksudnya, kami perlu melepaskan prasangka, pra-konsepsi dan pelbagai pengetahuan tentang konteks itu sendiri. Bahkan kami perlu menanggalkan pengetahuan dan pemahaman kami sendiri.

Guru ini bahkan memanfaatkan analogi gelas yang sudah berisi benda tertentu dan gelas kosong. Saat sebuah gelas sudah terisi, akan sulit benda-benda lain masuk atau dimasukan ke dalamnya. Benda-benda di dalam tidak memberikan tempat. Sebaliknya, saat gelas itu kosong, akan gampang bagi benda-benda dari luar masuk atau dimasukan ke dalamnya.  

Begitu juga diri kita saat kita masuk ke konteks kehidupan yang baru. Kita perlu menempatkan diri sebagai sebuah gelas kosong. Kalau sudah terisi, kita perlu mengosongkannya agar barang-barang baru bisa masuk.

Dengan kata lain, kalau kita sudah terisi oleh prasangka tertentu, akan sangat sulit pengetahuan baru masuk ke dalam diri kita. Kecenderungan yang terjadi adalah kita membandingkan antara apa yang kita lihat dengan apa yang kita sudah miliki. Perbandingan itu kadang kala tidak memperkaya, tetapi malah membuat kita resistan untuk menerima kelebihan orang lain.

Masuk dalam konteks baru dengan cara hidup baru membutuhkan kemampuan kita untuk mengosongkan diri. Kita membiarkan diri untuk masuk dalam konteks itu tanpa menghakimi cara hidup yang mereka miliki. Sebaliknya, kita perlu belajar dan mengobservasi apa yang mereka miliki.

Dengan kata lain, kita perlu mengosongkan diri agar pengetahuan, pemahaman dan pengalaman baru bisa masuk ke dalam diri kita.

Di balik itu pula, kita perlu juga membentengi diri agar pengetahuan dan pengalaman baru tidak mengontrol dan menggerus jati diri kita. Benteng diri itu bisa berupa pikiran positif dalam melihat cara hidup orang lain, menerima poin-poin yang positif dan menjauhi pengaruh-pengaruh negatif.

Ada banyak alasan yang menyebabkan kita masuk ke sebuah situasi dan konteks yang baru. Yang paling penting agar kita tidak gampang menghakimi perbedaan yang kita jumpai. Terlebih jika isi dari penghakiman kita itu berasal dari konteks kita sendiri.

Setiap konteks kehidupan mempunyai kelebihan dan kekurangannya tersendiri. Kelebihan kita pelajari. Kekurangan tidak dijadikan bahan celaan dan merendahkan hidup orang lain. Sebaliknya, kita perlu mencari cara agar kita bisa mengoreksi kekurangan itu sendiri.

Koreksi itu menjadi gampang saat kita sudah diterima dengan baik di dalam konteks tersebut. Tetapi kalau tidak, koreksi kita akan bertepuk sebelah tangan. Jadi, mengosongkan diri bukan saja untuk belajar, tetapi sebuah upaya untuk memasuki, merasakan dan mengalami cara hidup orang lain menjadi hidup kita. Dengan itu, orang lain tidak merasa asing dengan keberadaan kita.

Gobin Dd

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun