Tulisan ini bermula dari perbincangan di depan teras rumah salah satu tetangga. Kemarin petang. Perbincangan kami bermula dari proses karantina yang diberlakukan pemerintah Filipina.
Beberapa orang dari luar provinsi di mana saya tinggal baru tiba. Aturannya, setiap orang yang berasal dari luar provinsi ini harus mengikuti prosedur karantina sebelum pergi ke rumah mereka masing-masing.
Mereka dikarantina di salah satu gedung sekolah. Tujuh hari di sekolah itu, lalu dilanjutkan dengan tujuh hari lain di fasilitas karantina milik desa mereka masing-masing.
Perbincangan menjadi bercabang karena sebagian besar yang dikarantina berasal dan bekerja di luar negeri.
Ya, negara Filipina menjadi salah satu negara di dunia yang banyak mengsuplai tenaga kerja ke luar negeri. Sejauh pengamatan saya, bekerja di luar negeri menjadi pilihan banyak orang di Filipina. Karena ini, para tenaga kerja luar negeri memberikan kontribusi besar bagi devisa negara.
Tentang bekerja di luar negeri bukanlah hal yang gampang. Salah satunya tantangan bagi relasi dalam keluarga.
Tidak sedikit dari antara mereka yang mesti melepaskan keluarga mereka dan pergi bekerja di luar negeri. Melepaskan istri/suami dan anak-anak. Makanya, perbincangan kami pun sampai pada perihal perselingkuhan yang melibatkan tenaga kerja luar negeri.
Fenomena sosial yang tidak bisa berhenti untuk digosipkan. Seharusnya, ini mesti dicerna agar fenomena ini tidak menjamur dan dibiarkan sebagai kenyataan yang mesti diterima begitu saja.
Sebenarnya, perbincangan kami bermula dari situasi salah satu keluarga di lingkungan kami. Suaminya bekerja di Manila dan istrinya bekerja di Singapura. Relasi jarak jauh. Long distance relationship (LDR).
Keduanya sudah memiliki dua orang anak. Sulung berada di bangku SMP dan bungsu di bangku SD. Anak mereka ini tinggal bersama keluarga dari si perempuan.
Perpecahan bermula dari relasi jarak jauh. Si suami yang bekerja di Manila mempunyai relasi dengan perempuan lain.