Membangun Sikap Kontrol Sosial di Keluarga dan di Sekolah
Sikap kontrol sosial sekiranya menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan di rumah dan di sekolah. Kalau di rumah, kita sudah mungkin terbiasa dengan ini. Sesama saudara-saudari sudah tercipta sistem kontrol sosial antara satu sama lain. Antara saudara-saudari sudah terbiasa untuk saling mengontrol sikap dan perbuatan.
Kerap kali saya menemukan seorang anak balita yang melaporkan ulah kakaknya kepada orangtua. Contohnya, kakaknya menggunakan kata kotor dalam percakapan. Mungkin karena melihat dan mendengar nasihat orangtua tentang hal itu, anak balita ini menjadi sadar kalau apa yang dilakukan kakaknya itu salah. Makanya, dia melaporkannya kepada orangtua atas kesalahan yang dilakukan kakaknya.
Pelaporannya ini boleh jadi mencari kuasa orangtua untuk mengontrol kakaknya itu. Tetapi, ini juga sebuah upaya dari seorang balita agar kakaknya tidak melakukan kesalahan yang sama.
Namun, kadang terjadi kontrol sosial yang cenderung bertolak dari atas ke bawah. Seorang kakak berhak mengontrol adik-adiknya, tetapi adik-adiknya sulit mengontrol kakak karena faktor usia. Pada titik ini, kontrol sosial pun dipengaruhi oleh otoritas, yakni faktor usia.
Semestinya, kontrol sosial berlaku timbal balik. Tidak mengenal usia. Siapa saja wajib membantu yang bersalah tanpa terikat pada usia dan gender.
Begitu pula di sekolah. Kontrol sosial yang hanya terjadi dari atas ke bawah, tetapi mandek dari bawah ke atas. Belum lagi, aspek senioritas yang mungkin kuat berada di lingkungan sekolah.
Kontrol sosial menjadi efektif saat itu berlaku timbal balik tanpa pandang level. Dalam mana, jika kakak kelas berhak mengontrol adiknya saat bersalah, begitu pun adiknya berhak mengingatkan kakaknya atas kesalahannya.
Tentunya, ini tidak gampang, tetapi juga tidak mustahil untuk dilakukan. Ini membutuhkan pendampingan yang terus menerus agar sistem kontrol sosial terbangun dalam diri setiap orang.
Saya yakin kalau sistem kontrol sosial terbangun di setiap komunitas, hal ini akan menjadi mudah dalam konteks yang lebih luas. Kita membangun sistem kontrol sosial mulai dari lingkungan keluarga dan sekolah. Dalam mana, inilah lingkungan yang biasa menjadi lokus awal pembentukan karakter seseorang sebelum masuk dalam konteks sosial yang lebih luas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H