Sebut saja namanya Ana. Berasal dari Brasil. Dia datang ke Filipina sebagai bagian dari sebuah pelayanan gereja.
Di suatu kesempatan, Ana diminta untuk memberikan seminar kepada anak-anak SMP. Dalam salah satu seminarnya, Ana berkisah tentang luka batin saat orangtuanya bercerai saat dia masih berusia 13 tahun.
Pengalaman itu membekas dalam ingatannya. Karena pengalaman itu, dia pernah merasa tidak percaya pada sosok seorang ayah.
Cerita ini mengundang beberapa anak terharu dan menangis. Rupanya, pengalaman Ana juga terjadi di dalam kehidupan beberapa anak ini. Pengalaman masa kelam seorang Ana membangkitkan pengalaman kelam beberapa orang.
Perceraian orangtua selalu memberikan dampak dan luka batin kepada anak-anak. Betapa tidak, ayah dan ibu merupakan figur yang patut diteladani malah memutuskan untuk bercerai.
Perceraian merupakan salah satu momok dalam sebuah perkawinan. Siapa saja ingin menghindar dari kosa kata perceraian.
Anak-anak acap kali menjadi "korban tak bersalah" karena percarian orangtua. Mereka kehilangan panduan dan panutan hidup.
Betapa tidak, anak-anak melihat orangtua sebagai panduan awal dan panutan hidup. Apa yang dilakukan oleh orang tua kerap ditiru oleh anak-anak pada saat awal pertumbuhan dan perkembangan diri mereka.
Namun situasi begitu berubah saat mereka mendapatkan kalau orangtua musti memutuskan untuk berpisah. Mereka kehilangan panutan yang bisa berujung pada ketidakpercayaan pada keberadaan keluarga.
Bahkan karena perceraian mereka bisa saja mengalami keterasingan dari lingkungan di mana mereka berada, tertutama saat bertemu dengan teman-teman di sekolah. Mereka menjadi tidak nyaman untuk berelasi dengan teman-teman yang mempunyai situasi keluarga yang harmonis.
Tidak jarang juga, mereka merasa sakit hati saat menyaksikan teman-teman mereka dibahagiakan oleh kedua orangtua mereka. Sebaliknya mereka menemukan realitas perpisahan dari kedua orangtua di mana mereka dipaksakan untuk tinggal antara dengan ibu atau ayah.