Kasus perundungan, Â "Bullying" (masih) menjadi persoalan yang mengitari dunia pendidikan di tanah air.
Pada beberapa pekan terakhir, kita disuguhkan berita tentang kasus perundungan yang terjadi di ranah sekolah. Kasus perundungan itu beraneka macam.
Ada dalam rupa bullying fisik (pemukulan), bullying verbal (olok-olokan, ejekan) dan bullying mental (mengucilkan) (Kompas.com 08/02/2020)
Mirisnya, kasus perundungan juga direkam dengan kamera dan kemudian disebarluaskan. Seketika itu pula, kasus perundungan itu menjadi konsumsi publik.
Saya sendiri merasa sedih dan kecewa membaca kasus perundungan yang masih terjadi di dunia pendidikan di tanah air.
Kesedihan itu terlahir karena menimbang keberadaan pendidikan yang masih tidak mempengaruhi pikiran dan perasaan peserta didik. Apalagi saat melihat para pelaku perundungan yang secara mau dan sadar melakukan hal itu dan kemudian merekam perbuatan bejat mereka itu lewat smartphone.
Kekecawaan juga terlahir karena sekolah sebagai lanskap pendidikan tidak bergerak cepat menanggapi persoalan yang terjadi.
Selain itu, sekolah terlihat nampak "lemah" untuk mengantisipasi persoalan perundungan.Â
Pertanyaannya, mengapa persoalan perundungan masih saja terjadi di sekolah?
Padahal persoalan bullying di wilayah sekolah bukanlah kasus baru. Hal ini sudah beberapa kali terjadi dan menodai dunia pendidikan tanah air.
Ujung-ujungnya, slogan "sekolah sebagai tempat ramah anak" hanya berhenti pada tataran slogan. Aksi dan bukti nyata dari slogan tersebut masih jauh dari realitas sekolah karena pada faktanya aksi bullying masih mengintai relasi di antara peserta didik.