Yah, tensi antara Iran dan Amerika Serikat membuat personel NATO memutuskan untuk keluar dari Irak. Alasan mendasar dari keputusan ini adalah faktor keselamatan para personel.
Tidak hanya itu, militer Jerman juga yang berlatih di Irak juga memutuskan untuk meninggalkan Irak dan menepi ke Jordan dan Kuwait.
Padahal para pasukan ini berada di Irak guna membendung gerakan ekstremis ISIS yang dinilai dilemahkan pada bulan Desember 2017.
Ya, ISIS sempat muncul menjadi salah satu organisasi ekstrimis yang ditakutkan di Timur tengah, terutama di Irak dan Siria. ISIS dinilai sebagai organisasi yang tampak kejam.
Kekejaman ISIS nampak lewat pembunuhan dengan cara eksekusi di depan umum atau disalibkan. Selain itu, ISIS juga menggunakan media sosial sebagai instrumen untuk mempropoganda gerakan mereka. Â
Selain itu, organisasi ini memberikan banyak kehancuran di Irak dan Siria, terutama tempat-tempat agama yang mempunyai nilai sejarah. ISIS ingin mengembalikan situasi seperti pada awal keberadaan Islam.
Pada 31 Oktober 2019, organisasi ISIS menyatakan kematian Baghdadi, pemimpin mereka dan menyatakan kepemimpinan baru atas nama Abu Ibrahim al-Hashimi al-Qurashi.(CNN. 5/12/19)
Ini adalah salah satu kecemasan yang akan muncul. Bila tensi Amerika Serika dan Iran memanas dan menyebabkan kemunculan ISIS, maka bisa saja terjadi konflik segitiga di Timur tengah. Selain konflik antara Amerika Serikat dan Iran, ISIS juga membangun organisasi kembali dan menteror rakyat. Jadinya, situasinya kian rumit.
Pastinya tidak sedikit orang yang tidak mau kekejaman yang dilakukan oleh ISIS terjadi lagi. Iran dan Amerika Serikat pernah satu tangan menghancurkan pengaruh gerakan ini.
Selain itu, dalam konteks Indonesia, kita tentunya tidak ingin agar ISIS bangkit dan menguat lagi. Secara tidak langsung, organisasi ini berdampak pada hidup negara Indonesia.
Sidney Jones, seorang analis politik dan terorisme di Asia Tenggara menulis sebuah artikel di The New York Times (May 22, 2018), berjudul "How ISIS Has Changed Terrorism in Indonesia."