Persoalan yang melingkupi kepulauan Natuna menghadirkan beragam reaksi di dalam negeri. Reaksi-reaksi itu bermuara pada satu pendapat kalau kepulauan Natuna adalah milik Indonesia dan Cina tidak boleh seenaknya mengklaimnya sebagai milik mereka.
Tidak sampai di situ. Presiden Jokowi pun datang dan berkunjung ke Natuna, kepulauan Riau.
Seperti yang diberitakan dalam Kompas.com (8/1/2020), dalam kunjungan itu Jokowi didampingi oleh Menteri ESDM Arifin Tasfrif, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabawo, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.
Kehadiran presiden dengan beberapa anggota kabinetnya memberikan pesan yang kuat bagi rakyat Indonesia dan bagi Cina sendiri. Pesan itu semakin kuat saat dalam kunjungan itu, Presiden Jokowi mengatakan kalau kepulauan Natuna merupakan wilayah Indonesia.
Hal ini pun memberikan harapan kepada sebagian besar rakyat Indonesia, kalau simbol negara dalam hal ini Presiden tolak tunduk pada kekuatan asing. Presiden Jokowi adalah representatif rakyat Indonesia. Aksi dan kata-katanya merupakan perwujudan dari keberadaan Indonesia secara umumnya.
Hal lain dari kunjungan Presiden Jokowi pun mempertegas kalau beliau bukanlah pro asing, tetapi pro kedaulatan rakyat.
Sebagai rakyat Indonesia, saya senang dan bangga dengan aksi Presiden Jokowi yang turun langsung pada wilayah yang dipersoalkan. Dengan keterlibatan langsungnya ini, sebagai rakyat, saya merasa dan menyadari kalau pemimpin tidak tinggal diam dan dia berusaha memastikan keamanan wilayah kita.
Tetapi kalau pemimpin hanya berkata-kata, tanpa keterlibatan, rakyat bisa sangsi dan tidak puas. Tetapi saat pemimpin menjadi yang terdepan untuk menunjukkan aksi bela negara dan pro pada kedaulatan rakyat, pada saat itu pula semangat rakyat bisa terpompa untuk mempertahankan kedaulatan bangsa.
Reaksi kunjungan Presiden Jokowi pun menarik perhatian warga netizens di Filipina. Berita kunjungan Jokowi dimuat di salah satu harian lokal setempat. Salah satunya di koran harian Inqurer. Net com (9/1/20) yang dimuat pada versi online. Berita ini pun mengundang netizens untuk berkomentar. Tentunya, mereka berkomentar bukan tanpa sebab. Komentar mereka terlahir karena persoalan yang hampir sama di Kepulauan Natuna juga terjadi di wilayah perairan Filipina.
Namun tidak sedikit pula Netizens yang membandingkannya dengan Presiden Filipina, Duterte. Beberapa Netizens juga mengatakan kalau keberanian Presiden Jokowi mesti ditiru oleh pemimpin setempat. Selain itu, ada pula yang membandingkan antara metode kepemimpinan Presiden Jokowi dan Duterte.
Filipina mempunyai situasi yang hampir serupa dengan persoalan di kepulauan Natuna. Dalam mana, Cina masuk ke perairan Filipina, namun pemerintah terlihat tidak terlalu tegas dalam menanggapi kehadiran mereka.
Contohnya, dalam koran harian yang sama, Inquirer.net (9/1/20) termuat berita tentang 12 kapal Cina yang berada di dekat kepulauan Pag-asa di Laut Cina Selatan. Kepulauan Pag-asa merupakan teritori Filipina.
Kehadiran kapal-kapal Cina di dekat kepulauan Pag-asa meningkat sejak tahun 2018. Pada tahun 2019, pemerintah Filipian mengajukan protes secara diplomatik atas apa yang terjadi di wilayah teritori mereka. Meski demikian, protes itu tidak sejalan dengan realitas yang terjadi.
Lagi-lagi yang membuat berita ini menarik adalah komentar Netizens Filipina. Tidak sedikit netizens yang menyeruhkan nama "Widodo," Presiden Indonesia. Mereka menyebut nama Presiden Jokowi sebagai bentuk perbandingan dalam memecahkan persoalan yang hampir serupa, persoalan teritori negara.
Sebagai orang Indonesia, ada kebanggaan mencuat karena aksi Presiden Jokowi menjadi referensi untuk menyelesaikan persoalan tentang batas negara.
Kehadiran Presiden Jokowi di kepulauan Natuna memberikan pesan dan inspirasi kepada banyak negara. Sebagai presiden, Jokowi menunjukkan kalau pemimpin mesti menjadi yang terdepan dalam mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara.
Selain itu, ini juga menjadi pesan bagi kita untuk menjaga kedaulatan bangsa dan negara kita. Kita mesti bangga dengan apa yang kita punyai di dalam negeri, tanpa perlu merasa risih dengan apa yang dimiliki oleh negara lain.
Saat kita merasa inferior dari bangsa lain, saat itu pula kita perlahan menyerahkan kedaulatan kita kepada mereka. Tetapi saat kita menunjukkan diri kita setara dalam mempertahankan kedaulatan kita, saat itu pula bangsa lain merasa segan dengan keberadaan kita sebagai sebuah bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H