Pada masa kini, ada pelbagai rupa bagaimana orang yang merayakan sebuah pernikahan. Terlebih khusus, perayaan selepas menyatakan janji di insititusi agama tertentu.
Yang berkemampuan finansial cukup mumpuni, mereka bisa membuat acara resepsi yang mewah. Kemewahan itu nampak lewat dekorasi yang ditampilkan, pemilihan tempat untuk resepsi, makanan-minuman yang disajikan dan jumlah orang yang diundang.
Sementara yang mempunyai kemampuan finansial seadanya, pastinya juga menyesuaikan acara resepsi dengan kemampuan tersebut.
Tanpa penyesuaian dengan anggaran, bisa saja terjadi beban. Beban itu bukan saja dalam proses persiapan, tetapi juga setelah acara resepsi berlangsung.
Meski demikian, tidak jarang juga terjadi kalau ada yang coba melampaui batas kemampuan anggaran untuk melangsungkan pernikahan. Kemampuan finansial dipaksa untuk tunduk pada selera dan keinginan.
Selera tinggi tetapi kemampuan finansial lemah. Keinginan untuk acara yang serba mewah, tetapi keadaan keuangan kedua belah pihak tidak mendukung.
Salah satu penyebab dari situasi seperti ini adalah karena tantangan sosial. Dalam kenyataan sosial, begitu banyak orang yang melangsungkan resepsi pernikahan dengan tampilan mewah. Karena situasi ini, banyak orang yang cenderung untuk mengikuti tren yang sama, walaupun hal itu memaksa anggaran keuangan yang terbatas.
Selain itu, ada yang ingin melangsungkan acara mewah karena mau dilihat dan dipuji orang lain. Apalagi di tengah konteks masyarakat yang cenderung mengukur kesuksesan orang lain dari sisi tampilan luar.
Contohnya, pandangan yang menilai keberhasilan sebuah acara pernikahan dari faktor resepsi semata. Acara yang besar dan mewah menjadi ukuran dari keberhasilan sebuah pernikahan.
Efeknya, banyak orang cenderung berpikir banyak kali untuk mengikat sebuah pernikahan pada institusi tertentu kalau belum mempunyai kemampuan finansial.Â
Acara dibuat sedemikian mewah agar bisa mendapat pujian dari orang lain. Jadinya, esensi utama dari resepsi pernikahan menjadi kabur. Yang dicari hanya semata-mata pujian dari orang lain.
Seharusnya acara resepsi pernikahan merupakan ungkapan syukur. Sepasang suami istri beserta keluarga dari kedua mempelai bersatu padu untuk menyampaikan syukur atas ikatan yang berlangsung. Walaupun acaranya berlangsung sederhana, tetapi kalau ada rasa sebagai satu persatuan, acara itu bisa mendapat tempat di setiap orang.
Tetapi kalau hanya berpandangan tentang resepsi pernikahan sebagai kesempatan untuk unjuk kekuatan finansial dan materi, hal ini bisa mengaburkan pesan dari resepsi pernikahan tersebut.
Ada pelbagai dampak dari pandangan yang melihat resepsi pernikahan sebagai unjuk kekuatan materi. Dampaknya bisa berupa kenekatan untuk berutang atau bahkan menjual aset yang dimiliki guna mendapatkan uang.
Padahal kalau direnungkan, dampak ini malah akan memberikan dampak lanjut yang lebih membebankan. Â Hidup dalam belenggu utang atau kehilangan aset berharga yang bisa menjadi bagian dari investasi untuk masa depan.
Sebut saja namanya Ami dan Andre. Andre ingin melangsungkan pernikahannya dalam rupa kesederhanaan. Niatnya ini didasarkan pada situasi keuangan kedua belah pihak. Hasil kerja dari ladang tidak bisa mencukupi untuk resepsi pernikahan yang mewah.
Namun pihak wanita, Ami memaksa pihak laki-laki untuk memiliki acara yang mewah. Wanita ingin rupa pernikahannya mewah dan bisa menarik perhatian banyak orang.
Kebetulan situasi di mana kedua belah pasangan ini berada di daerah yang lebih mengedepankan kultur kemewahan karena kepemilikan materi.
Seperti misal, saat seorang mempunyai kendaraan entah itu roda dua dan roda empat, mereka mendapat perhatian dari banyak orang. Saat orang mempunyai resepsi pernikahan mewah, mereka akan menjadi bahan cerita dari banyak orang.
Karena situasi ini, Andre dan keluarganya memutuskan untuk menjual satu-satunya sapi kepunyaan keluarga.
Kadang-kadang perayaan resepsi nikah menjadi fokus perhatian banyak orang. Banyak orang ingin agar acara mereka tampil mewah dan luar biasa.
Dekorasi dibuat mengikuti tren. Pakaian dari kedua juga mempelai mengikuti tren tertentu. Seperti misal, warna pakaian yang dipakai oleh mempelai, orangtua dan keluarga akan mengikuti warna kesukaan dari kedua mempelai.
Beberapa bulan lalu, saya pulang ke kota kami dan melihat tren pernikahan yang kian berubah. Trennya adalah pernikahan mulai mengedapankan resepsi yang mewah dengan segala atribut dan dekorasi tertentu.
Melihat ini, saya menilai kalau bisnis dekorasi untuk pernikahan adalah salah satu ladang bisnis saat ini untuk konteks kota kami. Makanya banyak bisnis dekorasi yang sudah menjamur karena tingginya permintaan dari masyarakat.
Betapa tidak, banyak orang membutuhkan jasa dekorasi. Semakin pandai orang melakukan dekorasi dan menarik perhatian banyak orang, layanan dekorasi tersebut akan menjadi perhatian banyak orang.
Ya, saat ini tidak sedikit orang yang membuat acara resepsi besar demi kepentingan penampilan luar. Salah satu kepentingan itu adalah agar mendapat pujian dari orang lain. Menarik di mata orang lain tanpa peduli makna sebenarnya dari resepsi sebuah pernikahan.
Padahal sesungguhnya resepsi pernikahan adalah bagian dari ungkapan syukur dari kedua pasangan berserta keluarga mereka. Dengan memberikan sebuah resepsi, kedua belah pihak mengundang orang lain untuk berpartisipasi dalam sebuah keluarga baru.
Selain itu, nilai pernikahan tidak diukur oleh resepsi. Yang mengukur nilai pernikahan adalah kesetiaan dan cinta dari kedua bela pihak untuk hidup selama-lamanya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H