Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Saat Seorang Istri Tidak Dilamar, tetapi Ditarik ala Budaya Suku Hmong di Vietnam

7 Desember 2019   12:25 Diperbarui: 7 Desember 2019   12:45 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Melamar seorang perempuan untuk dijadikan istri adalah budaya yang sudah menjadi bagian dari relasi sosial. Biasanya, pihak laki-laki yang berinisiatif untuk melemar perempuan. Tentunya, perempuan juga sudah tahu dan sadar dengan lamaran itu.

Proses lamaran pun bergantung pada konteks budaya dan keluarga tertentu. Ada yang terlihat berbelit-belit dan ada yang cukup simpel.

Lamaran mungkin tidak berlaku untuk budaya "Tarik Istri" (pulling wife) pada suku Hmong di Vietnam.

Dalam budaya ini, seorang perempuan akan dijadikan seorang istri tanpa melewati proses lamaran.

Saya tertarik menulis tentang budaya unik ini setelah menyaksikan film dokumenter di salah satu stasiun TV.

Film dokumenter itu sebenarnya tentang penjualan perempuan untuk dijadikan istri di Cina. Mereka menyebutnya dengan penjualan pengantin wanita.

Konteks film dokumenternya itu berada di wilayah perbatasan antara Cina dan Vietnam.

Menurut film dokumenter ini, salah satu hal yang melanggengkan penjualan pengantin wanita di Cina adalah karena budaya yang dihidupi masyarakat Vietnam. Budaya itu adalah budaya "Tarik Istri."

Budaya "Tarik Istri" ala suku Hmong di Vietnam ini hampir serupa dengan salah satu budaya yang pernah ada dan mungkin masih ada di wilayah Manggarai, Flores.

Orang Manggarai biasanya menyebutnya dengan "Wendo Wina." Secara harafiah, "Wendo Wina" berarti "bawa lari istri." Makna sebenarnya adalah seorang pria akan membawa pergi seorang perempuan ke rumahnya walaupun tanpa sepengetahuan keluarga pihak perempuan.

Menurut cerita, "wendo wina" terjadi saat seorang laki-laki akan mengambil seorang perempuan di mana saja dan kapan saja untuk dijadikan istrinya. Biasanya "Wendo Wina" terjadi saat ada pesta di sebuah kampung.

Saat seorang laki-laki melihat seorang perempuan dan dia menyukai perempuan itu, dia akan berusaha mendekatinya. Setelah berhasil mendekatinya, dia coba merayu dan mengajak perempuan itu untuk mengikuti sang laki-laki.

Atau juga seorang laki-laki sudah lama menyukai seorang perempuan, tetapi karena kendala tertentu dari pihak perempuan, maka metode "wendo wina" adalah alternatif untuk mendapatkan perempuan itu sebagai seorang istri.

Hal ini pun tanpa sepengetahuan dari keluarga dari pihak perempuan. Keluarga dari pihak perempuan baru tahu kalau sang anak perempuan tidak pulang ke rumah. Dengan ini mereka tahu kalau anak perempuan sudah dibawah pergi oleh seorang laki-laki untuk dijadikan istri.

Keluarga pihak perempuan kemudian menanti proses adat yang akan biasanya diawali oleh inisiatif pihak laki-laki. Dengan ini, pihak laki-laki mesti tunduk pada proses adat yang akan terjadi.

Budaya "Wendo Wina" di Manggarai, Flores hampir serupa dengan budaya "tarik Istri" di Vietnam.

Pada suku di Hmong Vietnam, budaya "tarik istri" atau "tangkap istri" merupakan budaya yang sudah menjadi bagian situasi sosial masyarakat.

Salah satu alasan di balik adanya budaya ini adalah salah satu solusi bagi banyak laki-laki yang tidak bisa menikah karena orangtua dari pihak perempuan mungkin tidak setuju. Pihak perempuan mungkin tidak setuju karena pihak laki-laki tidak mampu secara finansial membiayai mas kawin yang diminta.

Budaya "tarik istri" ini biasa terjadi di musim semi. Budaya ini bermula saat seorang pria mengajak perempuan yang disukainya untuk bertemu dan berpacaran di suatu tempat.

Namun sebelum itu, sang pria sudah meminta teman dan keluarganya untuk berada di tempat yang sama. Saat perempuan itu ada di tempat itu, teman dan keluarga akan menarik perempuan itu ke rumah si laki-laki. Kemudian sang perempuan akan disekap di rumah selama tiga hari.

Menariknya, menurut kepercayaan suku ini, semakin banyak orang yang menarik perempuan itu, semakin bahagia pasangan ini nantinya, semakin lama mereka akan hidup sebagai suami istri, semakin banyak anak mereka dan mereka akan semakin kaya.

Jadi, di balik budaya ini berdiam kepercayaan tertentu. Mungkin kepercayaan seperti inilah yang menjadi salah satu faktor melanggengkan budaya ini.

Pada umumnya juga si perempuan menyadari budaya ini. Tetapi karena kepercayaan yang diyakini, perempuan akan beraksi seolah tidak setuju dengan aksi tersebut.

Lebih jauh lagi, menurut kepercayaan orang Hmong, adalah sesuatu yang tidak baik saat perempuan tidak bereaksi seperti tidak menangis dan berteriak saat ditarik oleh kelompok dari pihak pria.

Sebelum memasuki rumah, kedua pasangan akan melewati ritual. Selama tiga hari atau lebih, sang perempuan akan tinggal di rumah pihak laki-laki. Walaupun demikian, kedua pasangan ini belum bisa melangsungkan hubungan laiknya suami-istri walaupun tinggal dalam satu rumah.

Setelah tiga hari, pihak laki-laki akan pergi ke keluarga pihak perempuan dan menyampaikan kalau anak mereka sudah menikah. Pihak laki-laki juga akan menyerahkan perak, uang koin, ternak babi, ayam dan ayam dan anggur beras untuk upacara pernikahan.

Tetapi jika laki-laki tidak mempunyai mahar untuk pihak perempuan, dia mesti hidup di rumah pihak perempuan hingga dia bisa membayar dowry untuk keluarga pihak perempuan. Setelah kedua keluarga dari pihak sudah sepakat, mereka pun bisa dinikahkan seturut tradisi setempat.

Setiap budaya mempunyai keunikan masing-masing. Di balik budaya yang dihidupi berdiam kepercayaan yang dianut dan dipegang dengan kuat.

Kepercayaan itulah yang akan selalu menjadi fondasi kuat bagi para penganut budaya itu. Sejauh kepercayaan itu ada dan hidup dalam benak orang-orang, sejauh itu pula budaya itu akan hidup di tengah masyarakat.

Seperti misal, budaya "wendo wina" di Manggarai. Budaya ini sudah tergerus jaman. Jarang dan bahkan tidak terdengar lagi budaya ini.
Yang terjadi sekarang ini adalah proses lamaran. Lamaran itu merupakan pendekatan personal antara kedua belah pihak yang melibatkan kesepakatan keluarga secara umum.

Kalau keluarga sepakat, aturan budaya akan menjadi bagian dari proses relasi kedua belah pihak tanpa perlu perempuan ditarik dan dibawa tanpa sepengetahuan keluarganya.

Sumber: travel sense Asia. com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun