"There is not place like home." Tidak ada tempat lain selain rumah. Â
Ungkapan ini secara tidak langsung menyatakan kalau rumah selalu menjadi tempat ternyaman untuk siapa saja. Ini terjadi karena di dan dari rumah kita dibentuk, belajar banyak hal dan mendapat kenyamanan tertentu.
Di rumah kita bisa bebas mengekspresikan diri. Di rumah, kita menjadi diri sendiri.Â
Kira-kira gagasan kebebasan belajar pak Nadiem merupakan manifestasi secara tidak langsung dari proses pendidikan di rumah. Dalam arti, sekolah mesti menjadi rumah yang memberi waktu dan ruang bagi peserta didik untuk mengekspresikan diri.
Sekolah kerap dipandang sebagai rumah kedua. Sebagian waktu kita sejak kecil, kita habiskan di sekolah. Setengah hari dalam sehari, kita berada di sekolah. Jadinya, sekolah bukan saja tempat belajar, tetapi rumah kedua bagi kita.
Pertanyaannya, entahkah sekolah sudah menjadi rumah kedua bagi para peserta didik?
Saya kira sekolah belum sepenuhnya menjadi rumah bila banyak orang yang merasa terbebankan dan tidak nyaman saat berada di sekolah.
Rasa beban ini nampak pada keengganan dan kemalasan seorang peserta didik pergi sekolah. Bahkan rasa beban ini nampak juga pada tendensi dari peserta didik untuk bolos dari sekolah.
Karena situasinya tidak nyaman, maka niat berekspresi pun tidak hadir. Misalnya, ingin menyampaikan pendapat di kelas, tetapi takut disalahkan dan ditegur karena pendapatnya adalah kritik untuk guru atau sekolah.
Atau juga, di sekolah tidak sedikit peserta didik yang menjadi pribadi yang lain. Contohnya, mereka menuruti perintah guru hanya ingin menyenangi hati guru dan takut dimarahi walaupun di dalam hati mereka tidak suka.
Sebaliknya di rumah keluarga, ada kenyamanan yang hadir. Ada ruang untuk mengekspresikan diri. Ini terjadi karena ada kedekatan relasi antara anggota keluarga. Setiap orang diterima dengan tangan terbuka.