Kontestasi Pilgub DKI putaran II semakin menarik. Kelihatannya masing-masing kubu mesti sadar dan waspada dengan langkah-langkah yang mereka buat. Salah langkah dampaknya bisa bermacam-macam. Bisa kehilangan pamor ataukah terangkat ke permukaan.
Entah apa taktik Anies-Sandi tidak menghadiri debat yang diselenggarakan Kompas TV, yang pasti ini memunculkan reaksi beragam dari publik tanah air. Media sosial pun penuh dengan kicauan dan hastag #Aniestakutdebat.
Secara implisit kicauan dan hastag ini sudah menunjukkan kalau Anies-Uno sudah salah langkah. Makna ketakutan di sini membahasakan ragam makna. Maknanya bisa jadi mereka menyerah, bermain aman di putaran II dan cemas dengan tanggapan publik atas penampilan mereka. Yah, debat di TV bukanlah persoalan gampang. Banyak mata yang mengarah dan mencermati apa yang disampaikan oleh setiap paslon.
Sebut saja saat debat berlangsung di Mata Nadjwa beberapa minggu lalu. Kedua kubu berusaha menemukan sisi lemah setiap paslon agar dijadikan bahan untuk disebarkan ke publik. Tentunya, bagi yang tidak tampil sebagai pribadi yang kuat dengan program-program yang mumpuni akan menghadirkan reaksi negatif. Publik menjadi tidak percaya. Publik menjadi ragu dengan kredibilitas mereka.
Ketidakhadiran Anies-Uno bukanlah hal yang baru pada pentas Pilgub DKI kali ini. Pada putaran I, Agus-Sylvie kerap mengelak untuk hadir pada pentas debat yang diselenggarakan oleh beberapa stasiun TV swasta. Akibatnya, pamor terpengaruh. Publik yang melek dengan media sosial dan politik pun mempertanyakan kredibilitas seorang Agus-Sylvi sebagai calon pemimpin. Kalau debat dan berargumentasi tentang program saja mereka tidak hadir, bagaimana mereka bisa memimpin ibukota negara yang dipenuhi oleh elit-elit tanah air.
Perdebatan sebenarnya menjadi momen untuk mengaktualisasikan diri dan program. Terlepas dari pengaruh media penyelenggara itu sendiri, para paslon sebenarnya mempunyai kesempatan untuk berkampanye secara terbuka kepada publik.
Saat Anies-Sandi tidak hadir, hemat saya keuntungan terletak pada pasangan Ahok-Djarot. Betapa tidak, mereka menjadi pemain tunggal di acara yang ditayangkan. Mereka leluasa memaparkan dan meyakinkan program mereka. Apalagi tidak ada pihak lain yang menentang dan menyanggah program mereka. Kalau dihitung dari skor sepak bola, sebenarnya ketidakhadiran Anies-Sandi sudah menyebabkan mereka kalah 1-0.
Pertanyaannya, apakah nasib Anies-Sandi akan sama seperti Agus-Sylvi?
Pertama, bisa saja Anies-Uno mengalami nasib yang sama seperti Agus-Sylvi. Ingat, pengaruh media sosial sekarang ini. Pengaruhnya sulit untuk dibatasi dan dikontrol. Hastag dan kicauan di media sosial “Anies takut debat” bisa mempengaruhi pamor dan popularitas. Pengguna di media sosial beraneka bentuk. Ada pengguna yang tidak peduli apa alasan di balik ketidakhadiran Anies-Sandi. Mereka akan cenderung menelan bulat-bulat kicauan dan hastag itu dan membuat kesimpulan sendiri. Ujung-ujungnya, simpati pun bergerak ke kelompok Ahok-Djarot.
Kedua, Anies-Uno tidak belajar dari Agus-Sylvi. Ambil contoh, Agus-Sylvi kelihatannya kesulitan saat berdebat di depan publik saat KPU melaksanakan debat terbuka. Kesulitan ini menjadi salah satu batu sandungan dan kemudian ini mempengaruhi pandangan publik. Sebenarnya, penampilan mereka suda diterka-terka oleh publik sebelum mereka hadir di debat versi KPU. Ketidakhadiran mereka di sesi-sesi debat yang diselenggarakan oleh beberapa stasiun TV swasta sudah menunjukkan tanda-tanda ketidakmampuan mereka untuk berdebat tentang program-program di Jakarta.
Paslon Anies-Sandi tidak mungkin kehilangan ide dan konsep dalam meladeni incumbent. Keduanya cukup mumpumi untuk meladeni Ahok-Djarot. Tetapi ketidakhadiran mereka sudah membuat rakyat mempunyai penghakiman sendiri.
Sebenarnya, Anies-Sandi mesti belajar dari Pilgub Putaran I. Daripada hanya mencari celah mengkritik program dan mereformulasi program-program lama, sebaiknya Anies-Sandi tampil sebagai calon pemimpin yang siap sedia.
Debat di stasiun TV mana pun hanyalah salah satu situasi rumit dari sekian banyak persoalan di DKI. Kalau Debat yang hanya berlangsung beberapa jam sudah diabaikan, maka rakyat juga bisa berpikir kalau mereka bisa saja mengabaikan situasi dan tantangan rakyat selama lima tahun di Jakarta.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H