Gambaran apa yang paling umum dari iklan-iklan produk kecantikan di TV?
Salah satu satu gambaran yang paling umum dari iklan-iklan itu yakni tentang definisi kecantikan. Produk-produk itu mengidentikkan kecantikan seseorang dengan kualitas kulit seperti berwarna putih bersih, lembut dan halus. Saya belum pernah melihat produk kecantikan dengan melibatkan orang yang berkulit hitam atau pun sawo matang.
Belum ada juga produk kecantikan yang meyakinkan konsumen yang berkulit hitam atau sawo matang menjadi cantik (ganteng) di mata setiap orang meski mempunyai warna kulit seperti itu. Yang terjadi malah sebaliknya. Orang yang berkulit kusam dan sawo matang ditawarkan sulap ala produk kecantikan tertentu agar mempunyai kulit putih seperti susu. Karenanya, iklan-iklan cenderung menunjukkan kalau di luar yang berkulit putih, semuanya tidak cantik.
Yah, hampir semua produk kecantikan menggambarkan bahwa yang cantik itu yang berkulit putih. Sementara, yang berkulit coklat, sawo matang dan hitam tidak masuk kategori cantik. Dengan itu pula, orang-orang yang tidak berkulit putih menjadi “target” dari produk kecantikan. Kalau mereka ingin mempunyai kulit putih maka mereka mesti menggunakan produk kecantikan tertentu. Sementara itu bagi yang berkulit putih, kalau mereka mau tetap mempertahankan kecantikan menurut standar warna kulit, mereka mesti ikut membeli produk kecantikan itu.
Tak ayal, gambaran seperti ini mempengaruhi pola pikir masyarakat. Entah berapa banyak produk-produk kecantikan yang terjual di pasaran. Kaum hawa bahkan kaum adam juga beramai-ramai nimbrung memburu produk kecantikan yang dianggap bisa membuat kulit (tetap) putih. Tak hanya itu, orang yang berduit melimpah nekat untuk operasi plastik agar kulit menjadi (tetap) putih. Ujung-ujungnya, tercipta budaya konsumerisme karena pengaruh alat-alat kecantikan itu. Orang cenderung memburu produk-produk kecantikan agar tetap cantik walapun dengan harga selangit dan mengorbankan kebutuhan yang lain.
Entah apa yang melatarbelakangi produk-produk itu menggambarkan kulit putih identik dengan kecantikan, yang jelas ini adalah sebuah salah persepsi. Dampak lanjut dari kesalahan persepsi ini melahirkan pikiran-pikiran sesat lainnya di masyarakat.
Ada banyak kenyataan buruk yang muncul karena pengaruh pandangan ini. Beberapa di antaranya adalah kecenderungan orang yang membullyorang yang berkulit hitam di sekolah atau di masyarakat. Yang berkulit hitam tidak boleh masuk kelompok A atau B. Yang berkulit hitam diejek dan disepelehkan karena dipandang tidak menarik. Kalau bermain sebuah drama atau sandiwara, yang berkulit hitam mesti memerankan tokoh A dan bukan tokoh B. Atas dasar warna kulit, masyarakat memkotak-kotakan orang di dalam kehidupan sosial.
Bahkan ini juga terjadi di tingkat dunia secara umum. Sebut saja, ejekan dan cemohan bagi para pemain berkulit hitam di lapangan sepak bola. Tindakan diskriminatif seperti ini terlahir karena pandangan kalau yang berkulit hitam mewakili kelompok tertentu dan yang berkulit putih lebih tinggi dari mereka.
Atau juga, kriteria mencari pasangan hidup selalu berdasar pada warna kulit. Orang cenderung mencari pasangan hidup yang cantik karena berkulit putih supaya orang lain bisa terkagum-kagum. Bahkan masyarakat juga ikut menilai. Ada kecenderungan menilai pasangan hidup orang lain karena kecantikan kulit yang dimiliki.
Ini hanyalah sekian pengaruh yang muncul dari iklan-iklan di layar kaca yang menilai kecantikan dari segi warna kulit. Seharusnya, kulit putih tidak identik dengan cantik (ganteng). Namun, yang sebenarnya, cantik itu bukan soal fisik. Cantik itu bukan soal warna kulit. Cantik itu soal cara hidup. Cara hidup ini tampak lewat kebaikan hati dan tingkah laku.
Karena itu, pertanyaannya, apakah orang yang berkulit putih tidak melakukan kesalahan? Warna kulit tidak menentukan kualitas seseorang. Lebih menyedihkan cantik secara fisik, tetapi perilaku hariannya sangat buruk. Kerap muncul komentar seperti ini: “Kasihan, cantik-cantik tetapi berlaku jahat!” Kecantikan menjadi relatif bila dipandang dari aspek fisik tetapi timpang secara moral. Karenanya belum tentu, yang berkulit putih cantik di mata semua orang. Namun, cantik itu menjadi obyektif saat melihat tingkah laku yang ditampilkan. Apa yang terjadi adalah mengabaikan fisik dan memuji kebajikan yang muncul.
Sudah saatnya kita berpikir jernih terhadap iklan-iklan di TV. Kita berpikir jernih melihat makna kecantikan yang sesungguhnya. Cantik itu bukan soal kulit. Entah berkulit putih, hitam atau sawo matang, yang paling dikedepankan adalah moralitas hati dan tingkah laku harian. Karena itu, cantik itu adalah prihal hati yang tercermin lewat tingkah laku. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H