Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Keberadaan Ponsel yang Mencabut Budaya Bicara

8 Maret 2017   07:06 Diperbarui: 8 Maret 2017   20:00 1196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inovasi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Kongres mobile phone di Barcelona minggu lalu  (27 Februari-2 Maret 2017) menyisahkan banyak cerita tentang perkembangan teknologi mobile phone. Salah satunya tentang kembalinya sang veteran Nokia 3310 dengan tampilan barunya ke pasaran. Kongres ini juga menggarisbawahi pengaruh mobile phone terhadah manusia. Tidak tanggung-tanggung, ada 208 negara dan 108.00 orang yang menghadiri kongres internasional ini.

Partisipasi yang luar biasa ini menunjukkan kalau mobile phone bukan lagi teknologi asing dan kepunyaan negara atau kelompok tertentu, tetapi ini adalah bagian dari kehidupan manusia secara umum. Pertanyaannya, apakah kongres ini juga mengantisipasi dampak negatif penggunaan mobile phone bagi manusia? Mobile phone, di satu sisi memberi kemudahan dalam berkomunikasi. Tetapi di pihak lain, mobile phone bisa mengurangi komunikasi secara langsung antara manusia.

Yah, produk mobile phone seperti handphone dan smartphone kadang membuat kita lupa bicara. Kita lupa bicara dengan orang serumah. Situasi rumah begitu senyap karena kadang anggota keluarga sibuk dengan mobile phone atau menonton TV. Kita jarang bicara dengan teman di sekolah dan di kantor. Kalau kita membutuhkan bantuan seorang teman, kita hanya mengirimkan sebuah pesan singkat. Pesan singkat ini dibalas dengan pesan singkat lainnya. Hasil akhir, kumpulan pesan singkat tanpa perjumpaan muka dan percakapan langsung. Memang mobile phone menguntungkan, tetapi ini mencabut kita dari budaya bicara dari muka ke muka.

Dulu sebelum mobile phone merajalela, percakapan kerap tercipta di tempat seperti terminal, di ruang tunggu, di bus dan di tempat umum lainnya. Meski tidak saling kenal, tetapi karena situasi ada keinginan untuk berkomunikasi satu sama lain. Sekarang, situasi seperti itu perlahan lenyap. Senyuman ramah dan bertegur sapa ikut terkikis. Selagi masih berjalan, kita sibuk mengutak-atik mobile phone. Entah di ruang tunggu mana saja, kita berusaha membunuh kesepian dan kesendirian dengan berselancar di mobile phone. Apa pun yang membuat kita selalu melihat mobile phone, yang jelas mobile phone membuat kita tidak peduli dengan siapa yang berada di sekitar kita.

Saya masih ingat peristiwa di Starbucks beberapa waktu lalu. Sambil berbincang-bincang dengan dua orang teman tentang urusan pekerjaan, tiba-tiba sebuah keluarga datang dan menempati salah satu sudut restauran kopi itu. Mereka menempati meja yang tak jauh dari tempat kami. Tiga orang anak perempuan yang beranjak remaja ditemani oleh kedua orangtua mereka. Mereka begitu tenang menempati tempat duduk mereka. Sambil menyantap pesanan mereka, mereka hanya sesekali bicara. Lebih dari 45 menit berada di tempat itu, mereka berlima sibuk dengan urusan mereka sendiri. Ketiga anak perempuan sibuk mengutak-atik smartphone. Sang ayah juga kerap menelpon. Sementara ibu mereka membaca majalah gaya hidup dan sesekali mengambil smartphone dari tasnya. Mungkin saat mereka merasa bosan dengan situasi restauran itu atau minuman mereka sudah habis, mereka kemudian pergi.

Waktu melihat pemandangan itu, saya heran. “Kalau mereka mau mencari kebersamaan sebagai sebuah keluarga, kenapa mereka harus datang ke tempat ini? Dalam jangka 45 menit mereka sangat jarang bicara. Mereka hanya sibuk dengan Mobile phone. Mobile phone membuat mereka tidak menyadari kebersamaan mereka. Mungkin mereka berpikir kalau kebersamaan itu hanya prihal ada bersama secara fisik. Tidak. Kita ada bersama tetapi kita juga mesti bertukar kata, saling merasakan dan mendengarkan satu sama lain.

Sadar atau tidak keterikatan pada mobile phone membuat dunia kita begitu sepi. Komunikasi menjadi sempit. Komunikasi kita hanya dimediasi oleh layar dengan layar. Kita jarang berbicara langsung. Ujung-ujungnya kita bisa menjadi malas untuk bersua muka dengan orang lain. Toh dengan mobile phone kita bisa mengomunikasikan apa yang ingin disampaikan.

Pada titik ini, kita bisa kehilangan kemampuan berbicara dengan orang lain. Akibat lanjutnya, kalau ada masalah kita simpan sendiri atau kita tuangkan itu di media sosial. Sebelum orang lain tahu tentang masalah kita, media sosial lebih dulu tahu tentang masalah kita. Hal itu malah tidak akan memecahkan masalah, tetapi bisa membuat kita terombang-ambing.

Mencermati situasi seperti itu, pertanyaannya: “Bisakah kita hidup tanpa mobile phone dalam sehari atau di saat-saat tertentu seperti akhir pekan?”

Sekarang ini, banyak orang beramai-ramai untuk mencari kiat melepaskan diri dari keterikatan pada mobile phone. Salah satunya, atur waktu untuk menggunakan mobile phone. Saat makan bersama, setiap anggota keluarga berusaha untuk tidak membawa smartphone bersama mereka. Akhir pekan, smartphone dinonaktifkan. Lalu, sebelum tidur malam, smartphone dijauhkan dari tempat tidur. Semuanya ini bertujuan agar smartphone tidak mengontrol kita. Singkatnya, kita mesti mulai atur waktu dalam menggunakan smartphone. Keluarga, teman dan orang-orang di sekitar kita lebih penting daripada mobile phone. Kita mesti berbicara dengan mereka secara langsung daripada lewat mobile phone.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun