Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Banjir dan Pilkada Putaran Kedua

22 Februari 2017   20:36 Diperbarui: 23 Februari 2017   18:29 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banjir di ibukota Jakarta menjadi pemandangan tahunan. Tahun ini, masalah itu kembali datang. Namun Pemprov DKI menyatakan kalau ada pengurangan titik-titik banjir bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Ini artinya Pemprov DKI sudah bekerja semaksimal mungkin untuk mengatasi masalah tahunan ini. Intinya, ada kerja dan solusi terjadi di lapangan. Ini juga menunjukkan kalau banjir itu bisa diatasi. Sekarang tinggal aktor siapa yang berperan di dalam lingkup Pemprov DKI.

Di satu sisi, banjir tahun ini berhadapan dengan konteks ibukota yang berbeda. Pilgub Jakarta. Karenanya kalau banjir menjadi masalah bagi orang yang menempati daerah-daerah korban banjir, tetapi bagi para paslon gubernur dan wakil gubernur ini adalah berkah. Berkah untuk berkampanye gratis dan dengan itu bisa menarik simpati warga terutama mereka yang menjadi korban di daerah banjir. Masalah sudah ada di depan mata para paslon, mereka tinggal datang ke lokasi banjir dan membawa solusi. Makanya, tinggal siapa yang pandai untuk menyikapi masalah ini.

Tinggal dua paslon yang akan bertarung pada putaran kedua, Badja (Basuki-Djarot) versus Anis-Sandi. Keduanya bisa menggunakan masalah banjir sebagai bahan untuk berkampanye. Ada hal-hal yang mesti dilihat dari situasi seperti ini.

Pertama, status paslon no 2 (Basuki-Djarot) bisa unggul apabila mereka menerapkan solusi yang tepat sasar atas persoalan banjir yang terjadi. Mereka adalah petahana, terlebih lagi sekarang mereka kembali aktif bekerja di Pemprov DKI. Dengan posisi seperti ini, mereka bisa datang ke lokasi dan memberikan solusi yang realisti dan tepat sasar dengan keadaan. Jabatan mereka bisa menjadi alat untuk bersosialiasi dengan masyarakat tanpa menurunkan tim kampanye mereka. Yang terpenting adalah eksekusi nyata dari solusi dan bukan memberi janji.

Sementara, paslon no 3 (Anis-Sandi)  mau tidak mau mesti hadir dengan timnya untuk turun ke lokasi banjir. Mereka pasti membawa konsep yang sudah dibandingkan dengan apa yang sudah dilakukan oleh petahana dalam memecahkan persoalan banjir di DKI. Namun konsepnya mesti melampaui apa yang ditawarkan dan dibuat oleh petahana. Tidak hanya sekadar retorika dan janji, tetapi solusi yang “membumi.” Dalam arti, paslon no 3 menawarkan sesuatu yang berbeda dan secara akal sehat solusi itu bisa dieksekusi. Namun kalau hanya sekadar janji tanpa program atau pun solusi yang realistis, masyarakat pasti tidak tertarik. Terlebih lagi mereka melawan petahana yang “sedang” mengeksekusi solusi karena mereka sudah aktif bekerja di Pemprov DKI.

Kedua, ini bisa menjadi bahan bagi paslon no 3 untuk mengkritik paslon no 2 (petahana). Banjir bisa dilihat sebagai persoalan Pemprov DKI terutama bagi petahana. Dan paslon no 3 menjadikannya sebagai bahan untuk menilai dan menyerang kinerja petahana. Kritik ini dipaparkan di depan warga yang berada di lokasi banjir, membuat tawaran baru bila mereka terpilih dan tentunya memberikan solusi untuk mengatasi banjir. Secara politis, mereka bisa mendapatkan suara tambahan dari lokasi-lokasi banjir. Singkatnya, banjir adalah alat ampuh untuk mendiskeditkan posisi petahana dan program-program yang sedang dibuat oleh Pemprov DKI. Namun yang perlu dicatat adalah kritik kepada petahana mesti dibarengi dengan program dan solusi.

Banjir adalah realitas nyata bagi para paslon yang bertarung di putaran kedua. Petahana (paslon no 2) mesti tahu penyebab dan solusi apa yang mau dibuat dan paslon no 2 mesti menawarkan konsep baru yang melebihi apa yang telah dilakukan petahana.

Banjir di musim Pilgub terasa seperti keuntungan dan jebakan bagi petahana. Sementara, bagi paslon no 3 banjir adalah senjata rahasia untuk menyerang petahana dan alat untuk menarik simpati warga. Secara kasat mata, banjir tahun ini adalah momen untuk mencari suara tambahan bagi para paslon, terlebih lagi pada putaran pertama suara mereka bersaing sangat ketat.

Namun di balik kepentingan politik, yang pasti persoalan banjir adalah masalah bagi warga Jakarta selama bertahun-tahun. Namun bukan dengan itu, banjir tidak bisa diatasi. Buktinya, ada pengurangan titik banjir dari tahun sebelumnya menurut Pemprov DKI Jakarta. Kalau memang itu yang terjadi, maka banjir bisa hilang dari ibukota. Inilah yang mesti dicatat oleh para paslon dalam melihat realitas banjir yang terjadi sekarang ini. Banjir bukan instrumen untuk kampanye semata. Banjir adalah persoalan warga dan mesti dipecahkan. Siapa pun yang menang masalah banjir mesti hilang dari kamus ibukota.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun