Setelah menyimak isi Pidato SBY (01/09/2010) perihal memanasnya hubungan RI-Malaysia yang dipicu oleh insiden tanggal 13 Agustus 2010 di perairan Pulau Bintan, apa mau dikata, kekecewaan itu sangatlah terasa akibat dari isi pidato SBY yang begitu datar, lagi-lagi menunjukkan kelemahan SBY dalam menyikapi isu-isu penting dan terkesan sangat lamban. Insiden terjadi tanggal 13/08/2010, eh pidatonya malah tanggal 01/09/2010, respon yang sangat lamban, sama halnya dengan Menlu RI yang masih tenang-tenang saja sementara Menteri Luar Negeri Malaysia sudah mengeluarkan pernyataan yang cukup keras dan tegas.
Perang? tentu tidak semua rakyat Indonesia menyetujui hal tersebut, namun tidak bisakah pemerintah bersikap LEBIH TEGAS terhadap Malaysia, 10 (sepuluh) nota protes yang dikirimkan Menlu RI ke pemerintah Malaysia tidak ditanggapi sama sekali, bukankah ini merupakan pelecehan, jika di Negara lain, maka Negara tersebut akan memutuskan hubungan diplomatik. Tapi tidak dengan Pemerintah RI.
Soft Diplomacy yang dilakukan oleh Menlu RI terlalu lembut, kok yah tidak capai terus-terusan menggunakan soft diplomacy dengan Malaysia. Sudah saatnya mengunakan Hard Diplomacy, sekali lagi bukan untuk Perang.
Membandingkan isi pidato SBY (01/09/2010) dengan isi pidato Soekarno "Ganyang Malaysia" (27/07/1963) tentu berbeda jauh. Di era Soeharto pun, Indonesia disegani (bukan ditakuti). Soekarno, Soeharto, Soesilo (Susilo) seharusnya sama-sama kompak dalam pemikiran, kebijakan, dan sikap, dalam hal kedaulatan NKRI.
Ada yang bilang SBY itu sedang berada pada puncak NARSISME, Pencitraan yang dibangun sejak tahun 2004 masih belum dipandang cukup. Apakah mungkin SBY masih terobsesi untuk meraih nobel perdamaian? Jika Jusuf Kala (JK) pernah digembar-gemborkan untuk meraih nobel perdamaian setelah berhasil mendamaikan keadaan di Aceh, apakah SBY ingin meraih suatu momentum agar dipandang oleh Dunia sebagai Pribadi yang layak dan pantas untuk meraih Nobel Perdamaian?
Mungkin dengan meraih Nobel Perdamaian, SBY akan menyempurnakan Pencitraannya, menjabat dua kali berturut-turut sebagai Presiden RI yang dipilih rakyat secara langsung, mampu mengamankan kondisi perekonomian Indonesia dari hantaman imbas krisis ekonomi global (apakabar Bu Sri Mulyani?), dan jika harus ditutup dengan Nobel Perdamaian tentulah menjadi prestasi tersendiri bagi SBY.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H